Pagi yang cerah dan sangat
tenang, sinar matahari yang hangat perlahan masuk melalui jendela dapur. Disana
seorang wanita setengah baya sibuk memotong sayuran diiringi musik klasik yang
diputar dari piringan hitam model lama. Sesekali pandangannya beralih keluar
jendela dimana suami dan anaknya memberi makan ternak mereka. Ia tersenyum
bahagia seakan-akan penantian mereka selama berpuluh-puluh tahun akan seorang
anak sama sekali tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka bahwa hari demi hari
yang mereka lewati bersama yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian.
Tampaknya Tuhan sangat adil pada mereka, mereka selalu berbuat baik, saleh,
polos dan hidup penuh dengan kesederhanaan sehingga mereka dianugrahi seorang
putra yang sama baiknya dengan mereka. Tiba-tiba wanita itu tersentak mendengar
suara siulan dari teko air yang mendidih. Dia segera mematikan apinya dan
membuat kopi untuk suaminya. Masakannya juga telah selesai, tubuhnya yang sudah
tua dengan lincah mengangkat masakannya dan ditata rapi di piring.
“Justin, suamiku, sudah cukup
kerjanya! Makanlah dulu.” Wanita itu
memanggil. “Baiklah Bu!” sahut Justin anaknya, ia dan ayahnya segera
membereskan ember-ember tempat pakan ternak dan segera bergegas kembali ke
rumah untuk sarapan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendengar suara ketukan
pintu diluar rumah, ia segera membenahi diri dan membukakan pintu. Ternyata dua
orang pria berseragam tentara mendatangi mereka. Wanita itu sangat heran karena
mereka tidak punya kenalan dari kalangan militer. “Selamat pagi Nyonya, kami
disini untuk meminta bantuan dari masyarakat.”Kata seorang prajurit. “Silakan
masuk dulu tuan-tuan, kita bicara di dalam.” Kata wanita tersebut. Kedua
prajurit tersebut saling berpandangan dan kemudian menerima ajakan wanita tersebut.
“Kalian ingin kopi atau teh?” tanyanya. “Tidak usah repot-repot Nyonya,
sebenarnya kami sedang terburu-buru,” kata seorang dari mereka. “Baiklah.” Kata
wanita itu sedikit gugup. “Sebenarnya kami disini untuk meminta bantuan dari
masyarakat karena kami kekurangan personil.” Kata prajurit tersebut. “Saya
tidak mengerti maksudnya. Tentu kami akan membantu tapi apa yang bisa kami
bantu?” tanya wanita tersebut. “Kami ingin mengajak putra anda untuk menjadi
prajurit.” Kata prajurit tersebut. “Mungkin ini berat bagi Nyonya tapi negara
saat ini sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat.” Kata prajurit satunya.
Wanita itu terdiam sejenak, ia merasa sangat binggung. Bagaimana ia bisa
menyerahkan putra tunggalnya untuk berperang? Tapi bagaimanapun juga Tuhan telah
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi orang tua bagaimana ia bisa
menjadi sangat egois?
“Ibu, kenapa ada prajurit di rumah kita? Apa ayah kenal mereka?” tanya putranya yang baru tiba. Kedua orang tuanya terdiam. Kedua prajurit tersebut memperhatikan Justin, ia memiliki postur yang bagus, tubuhnya tinggi sekitar 6’4” dan tegap, terlihat sangat sehat dan kuat. “Berapa umurmu nak?” Tanya salah satu prajurit tersebut. “Dua puluh satu.” Jawab Justin gugup. Prajurit tersebut mengambil nafas panjang. “Biasanya seorang anak laki-laki ikut militer dari umur 15-17 tahun. Kenapa kamu masih disini nak?”. Justin kebingunggan, ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian ayah menepuk pundaknya. “Tuan-tuan, saya sangat mengerti tujuan kedatangan anda. Seperti yang anda lihat tempat kami sangat terpencil jadi ini baru pertama kali prajurit datang kemari. Saya harap kalian tidak salah paham.” Kata ayah Justin. Ia melihat kearah istrinya, mereka saling bertatapan dalam diam dan kemudian istrinya mengangguk. “Tuan-tuan, kami ini sudah tua dan Justin adalah satu-satunya anak kami. Ia adalah karunia terbesar di keluarga kami, ia baik, rajin, dan sangat berbakti pada orang tua. Tapi Tuhan punya rencana dan kami yakin Tuhan itu sangat adil. Justin anakku, kau sudah tumbuh menjadi pria dewasa dan sudah saatnya kau memiliki tanggung jawab. Tuan-tuan, kami sama sekali tidak keberatan jika kau mau mengajak putra kami ikut perang.” Kata ayah Justin. “Perang? Ayah, kenapa ada perang? Aku tidak mau ikut perang, mereka membunuh orang.” Kata Justin polos. “Justin, bukankah kau sejak dulu sangat menginginkan seorang teman? Disana akan ada banyak anak seusiamu. Kau bisa memiliki banyak teman disana.” Kata ibu Justin. “Tapi itu berarti ayah dan ibu akan sendirian, siapa yang akan menjaga kalian?” tanya Justin keberatan. “Kami tidak apa-apa nak. Ayah dan Ibumu ini masih sangat sehat tapi ingatlah walaupun kau sudah punya banyak teman disana jangan lupa untuk pulang ya.” Kata Ibunya sambil memegang tangannya dengan lembut. “Tuan dan Nyonya jangan khawatir walaupun ia akan menjadi prajurit tapi dia tetaplah warga negara yang akan kami lindungi dengan nyawa kami sendiri.” Kata salah satu prajurit tersebut.
Keluarga tersebut berpelukan
sangat erat, sejak dulu mereka tinggal di bukit tanpa ada tetangga dan saudara
sehingga hubungan mereka sangatlah erat. Walaupun sangat berat bagi mereka
namun mereka tetap berlapang dada. Justin akhirnya dibawa oleh kedua prajurit
tersebut dengan mobil militer. Kedua orang tuanya berusaha membendung air mata
mereka. Mereka tidak ingin putra mereka memiliki beban saat berpisah dengan
mereka. Dalam hati mereka berharap putra mereka bisa berguna bagi banyak orang,
mereka ikhlas jika harus kehilangan putra mereka.
Justin telah meninggalkan Vashcally
Hill, bukit tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia hampir tidak pernah
meninggalkan Vashcally Hill paling tidak hanya ketika ia membantu ayahnya
menjual hasil kebun atau ternak mereka. Dalam hati ia merasa sangat sedih harus
meninggalkan orang tuanya, ia sama sekali tidak berpikir tentang apa yang akan
dia hadapi di medan perang untuk saat ini. Ia merasa seperti anak burung yang
baru belajar untuk terbang. Meninggalkan sarangnya dan melihat apa yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya merasakan setiap terpaan angin dan udara yang
berbeda dari yang ia rasakan selama ini. Ia merasa sangat kecil dan tidak berdaya walaupun disisi lain ia merasa
bebas. Ia menguatkan hatinya, terlintas dipikirannya bahwa akan ada banyak anak
seusianya yang bisa menjadi temannya sesuatu yang selama ini hanya ada didalam
bayangannya. Ia tidak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah. Ia tidak tumbuh
sebagai anak yang bermain-main dengan temannya saat kecil karena tempat
tinggalnya memang sangat terpencil. Memikirkan hal itu membuatnya semakin
bersemangat untuk menapaki dunianya yang baru.
Setelah empat jam perjalanan yang sangat jauh seorang prajurit mulai
berbicara. “Namamu Justin kan?” tanya seorang prajurit. Justin mengangguk pelan
dan mengigit bibir bawahnya. “Namaku Albert dan ini Geoff. Santai saja,
sebentar lagi kita sampai.” Kata prajurit tersebut. “Kita akan kemana
Pak?” tanya Justin. “Kau akan ditempatkan di Batalyon Tn. Middleford. Banyak
prajurit seusiamu disana dan mereka sangat hebat. Kau bisa belajar banyak
disana.” Kata Geoff. Justin mengangguk pelan dan menunduk. Mengetahui bahwa ia
akan segera sampai membuatnya semakin gugup, ia tidak tahu bagaimana harus
bersikap pada orang-orang baru apalagi pada anak-anak seusianya. “Batalyon ini
sangat penting, kami harap kau bisa belajar dengan baik dan membantu batalyon
ini dengan baik. Pada awalnya pasti sangat berat bagimu secara fisik ataupun
mental. Kami semua pernah melaluinya.” Kata Albert serius. “Aku pasti akan
melakukan yang terbaik Pak!” kata Justin dengan suara lantang walaupun sedikit
gemetar. “Ya, begitu baru semangat anak muda!” kata Albert senang sambil
menepuk pundak Justin. “Tapi sebenarnya kenapa ada perang Pak?” tanya Justin.
Kedua mata prajurit tersebut terbelalak. “Kau benar-benar tidak tahu?” tanya
Albert keheranan. Justin mengangguk cepat, Albert menghela nafasnya dan tidak
percaya bahwa masih ada warga yang tidak menyadari bahwa perang telah terjadi
di negara mereka. “Negara kita telah terpecah menjadi dua kubu dengan idealisme
yang berbeda. Pemerintah kita sebenarnya ingin menganut paham liberalis, namun
di satu pihak ada yang menanggap liberalis hanya akan membuat kesenjangan
nantinya sehingga mereka memberontak. Orang-orang tersebut menganut paham
sosialis dan jumlah dukungan mereka semakin kuat. Akibat perang saudara ini
negara kita dijauhi negara lain, perdagangan internasional berhenti dan negara
kita semakin terpuruk.” Kata Albert menjelaskan. Justin sebenarnya kurang
mengerti karena ia tidak pernah sekolah namun yang ia tahu bahwa telah terjadi
perang saudara di negaranya.
Akhirnya mereka
sampai di suatu bangunan yang besar terdapat beberapa prajurit menjaga pintu
masuk yang terlihat begitu kokoh dan besar. “Selamat siang Michael.” Sapa Geoff
kepada seorang penjaga. Penjaga tersebut segera memerintahkan untuk membuka
pintu. “Seorang anggota baru lagi ya? Ia terlihat dapat diandalkan.” Kata
Michael. “Bukankah semua anggota disini adalah yang terbaik?” Kata Geoff sambil
tertawa. Mereka pun segera masuk ke dalam markas, disana Justin melihat banyak
sekali prajurit dengan macam-macam kesibukannya. Ada yang berlatih halang
rintang, ada yang berlarian membawa amunisi, ada yang baris-berbaris dan
melakukan hal-hal lainnya yang tidak begitu jelas bagi Justin. Tak lama
kemudian mobil mereka sampai disebuah bangunan yang tidak terlalu besar,
bangunan tersebut hanya terdiri dari satu lantai dan terlihat sepi. “Baiklah
kita sudah sampai, saatnya mendaftarkan namamu dan melakukan beberapa tes
kesehatan.” Kata Geoff. Mobil pun berhenti dan Justin turun dengan gugup.
Beberapa prajurit melihat kearah mereka dan membuat Justin semakin gugup.
“Santai saja.” Kata Albert sambil merangkul pundak Justin dan membawannya masuk
ke dalam. “Albert, Geoff, sepertinya kalian membawa anggota baru lagi ya? Tapi
kenapa kali ini hanya satu orang?” Tanya seorang pria yang berpakaian seperti
dokter. Ia masih terlihat muda dan wajahnya terlihat sangat ramah. “Begitulah
Randolph, Kami pergi ke Vashcally Hill. Seperti yang kau tahu disana adalah
tempat yang cukup terpencil.” Jawab Albert. Dokter tersebut melihat Justin
dengan seksama. “Siapa namamu dan berapa umurmu nak?” “Justin Hazel Ainsworth,
dua puluh satu tahun.” Jawab justin. Randolph mengambil sebuah formulir di meja
dan sebuah pena. “Isilah data dirimu disini nak.”. Justin mengambilnya dengan
gugup, sebenarnya ia bisa membaca dan menulis namun tidak terlalu sering
melakukannya. “Duduklah disini.” kata Randolph menunjuk sebuah meja kecil
disebelah mejanya. “Aku akan mengurusnya dari sini, kalian pergilah.” Katanya.
Albert dan Geoff mengangguk “Jaga dirimu nak.” Kata Albert sembari pergi
meninggalkannya.
Tidak butuh
waktu lama bagi Justin untuk menyelesaikan form tersebut. Ia menyerahkannya
pada Randolph dengan gugup. Randolph membaca dengan seksama dan mengeritkan
dahinya. “Kau tidak pernah sekolah?” tanyanya. Justin mengangguk pelan. “Lalu
siapa yang mengajarimu membaca dan menulis?”
“Ibuku yang mengajari.” Jawab Justin singkat. Wajahnya berubah menjadi
merah, itu terjadi setiap kali saat ia merasa malu. Randolph tertawa keras
butuh beberapa saat sampai dia bisa mengontrol dirinya. “Tidak apa-apa nak, aku
tidak menertawakanmu karena tidak sekolah tapi wajahmu itu seperti tomat.”
Perkataan Randolph membuat wajah Justin semakin merah. “Sekarang buka semua
bajumu nak.” Katanya sambil terus menahan tawa. Kali ini wajah Justin semakin
merah dan sepertinya tidak bisa menjadi lebih merah lagi. “Aku serius.” Katanya
dan tertawa lagi kemudian. “Aku harus melihat
apakah ada kelainan fisik di tubuhmu. Jika ada maka kau tidak boleh ikut
perang dan harus kembali ke rumah.” Jelasnya. Justin pun melepas pakaiannya
dengan gugup. “Tunggu, jika aku memiliki cacat fisik aku bisa pulang ke rumah?”
Pikir Justin. Ia merasa entah kenapa ia berharap punya cacat sekarang, tapi
kalau ia punya cacat ia tidak bisa membantu ayahnya di peternakan lagi. Tanpa
sadar Randolph telah selesai mengeksaminasi tubuhnya. “Wah nak, kau punya tubuh
yang bagus! Apakah kau bermain bola atau semacamnya?” tanya Randolph. “Tidak,
aku hanya terbiasa membantu ayahku di peternakan.” “Ah, tentu saja! Kau memiliki tubuh yang sangat
sehat. Selamat kau lulus tes dan bisa menjadi prajurit sekarang.” Entah kenapa
Justin merasa senang, mungkin karena ia tidak pernah menjalani tes apapun
sebelumnya dan lulus dalam tes itu.
Randolph kemudian mengambil telepon dan menelepon
seseorang. “Kau datanglah kemari, ada anak baru… Apa maksudmu tidak bisa?
Itukan tugasmu… Aku mengerti. Tapi kau yang biasanya melakukan itu, tidak ada
yang lebih baik darimu dalam melakukan hal ini… hahahaha… baiklah terimakasih
Kevin.” Randolph menutup telepon dan tertawa kecil. “Sebentar lagi Kevin akan
datang, ia akan menjelaskan beberapa hal tentang batalyon ini padamu.” Justin
mengangguk pelan, ia penasaran siapakah yang akan datang apakah seorang
prajurit yang biasanya memimpin dan berwibawa? Tiba-tiba ia mendengar suara
pintu yang dibuka, ia menelan ludahnya karena gugup. Terlihat seorang prajurit
yang masih muda, mungkin seusianya. Tubuhnya kurus dan tidak terlalu tinggi,
tidak juga pendek dan memakai kacamata yang cukup tebal. “Pasti bukan dia.”
Pikir Justin. “Ah! Justin ini Kevin, dia adalah kepala bagian informasi dan
komunikasi. Dia yang terbaik dibidangnya dan dalam beberapa hal seperti
memberikan tur untuk anak baru.” Kata Randolph. Anak itu membetulkan
kacamatanya dan dan memandang Justin semakin dekat. “Hei, berapa umurmu?”
Justin menjadi canggung. “Aku Justin, dua puluh satu tahun.” Kevin tersentak.
“Astaga? Kau terlalu tua untuk jadi anak baru! Tidak apa aku kenal beberapa
anak sepertimu yang terlalu takut untuk berperang atau disembunyikan
orangtuanya karena tidak rela kehilangan anak emasnya. Tapi cukup aneh jika
melihat fisikmu yang besar dan kekar dan kenyataan bahwa kau terlalu takut
untuk berperang? Cukup aneh… Apakah kau pernah berkelahi?” Randolph mengiris
mendengar ocehan Kevin dan menutup mulutnya. “Sepertinya sudah saatnya
kalian pergi.” Katanya sambil mendorong Kevin dan Justin keluar dan segera
menutup pintu. “Lihatlah, orang-orang disini sudah tidak sopan!” kata Kevin
kesal. Justin hanya tertawa kecil.
“Baiklah,
ikutlah denganku!” ajak Kevin. Mereka berjalan ke arah kerumunan orang yang
sibuk, beberapa dari mereka melihat Justin dengan pandangan heran. “Aku akan
membawamu ke dalam mess, kau bisa meletakkan barangmu dulu disana.” Kata Kevin.
Mereka terus berjalan ke arah bangunan mess yang cukup besar berwarna abu-abu
tersebut. Kevin membawa Justin ke sebuah tempat yang terlihat seperti loket.
“Hei, apakah masih ada tempat kosong untuk anak baru?” tanya Kevin pada
seseorang di loket. “Sayang sekali tidak ada tempat lagi.” “Ah, yang benar
saja? Masa kau suruh dia tidur di kamar mandi?” kata Kevin keberatan. “Ya,
sebenarnya ada satu sih… Ya, kau tahukan sebenarnya masih ada tempat di kamar
pria itu.” Kata pria di loket tersebut. Kevin terdiam sejenak. “Memang sebaiknya
kau tidur di kamar mandi, anak baru seperti dirimu harus latihan fisik.” Kata
Kevin sambil menarik tangan Justin. Justin yang kebingunggan menurut saja.
“Hei! Kau tidak serius menyuruhnya tidur di kamar mandi kan?” kata pria
tersebut mencegah Kevin. Kevin menghela nafasnya “Kau tunggu disini.”. Kevin
kembali ke loket tersebut dan terlihat berdebat dengan pria di loket tersebut.
Beberapa saat kemudian ia kembali dan membawa sebuah kunci di tangannya. Ia
mengadahkan kepalanya dan menatap mata Justin dengan penuh keprihatinan dan
kemudian menggelengkan kepalanya, membuat Justin semakin tidak mengerti. “Ayo.”
Ajak Kevin. Mereka pergi ke lantai lima yang merupakan tempat paling atas,
keadaan disana lebih sepi dari dibawah. Kevin menaruh telapaknya di dada Justin
sebagai isyarat untuk tetap diam di tempatnya. Ia kemudian pergi menuju sebuah
pintu dan mengintip kedalam. Beberapa saat kemudian ia membuka pintunya dan
menyuruh Justin untuk masuk, Justin pun segera menghampirinya. “Cepat letakkan
barangmu dan keluar dari sini!” kata Kevin. Justin meletakkan tasnya ke tempat
tidur dan segera keluar. “Kenapa kau seperti ketakutan?” bisik Justin. Kevin
tidak menghiraukannya dan segera mengunci ruangan tersebut. “Cepat! Aku masih
harus menjelaskan beberapa peraturan padamu.” Kata Kevin sambil berjalan turun
kebawah. Justin segera berlari kecil mengikutinya.
“Pertama kau
harus menemui paman Ron, dia akan mengurus rambut merahmu itu.” Justin tampak
binggung. “Kenapa dengan rambutku?” tanya Justin. “Astaga kenapa kau begitu
bodoh? Rambutmu harus dicukur agar tidak menyusahkan dalam perang. Maksudku
musuh bisa saja menarik rambutmu dan itu menjadi halangan. Jadi setiap dua minggu sekali kau harus temui dia atau
tidak dia yang akan memburumu dan hal itu tidak menyenangkan.” Kata Kevin.
Kevin membawanya kesebuah ruangan di lantai dasar, disana terlihat seorang pria
berumur sekitar 50 tahunan. “Paman Ron, aku membawa anggota baru.” Kata Kevin.
Ron melihat Justin dengan seksama dan menyuruh Justin duduk untuk dicukur. “Kau
punya rambut yang bagus seperti malaikat hahahaha…” kata ron sambil mencukur
rambut Justin dengan cekatan. “Siapa namamu nak? Berapa umurmu?” “Namaku Justin, aku dua puluh satu
tahun.” Ron tampak kaget. “Baiklah, sudah selesai.” Kata Ron sambil
mendorong kasar Justin dari kursi. “Baiklah terimakasih paman.” Kata Kevin sambil membawa Justin pergi. “Ingat!
Dua minggu sekali kau harus datang kesini mengerti?” “i-iya.” Jawab
Justin gemetar.
Kevin terus
berjalan tanpa mengatakan pada Justin tujuan mereka. Samar-samar Justin mencium bau makanan. Perutnya
sangat lapar, tadi pagi ia melewatkan sarapan. “Ya, aku membawa mu ke kantin.
Bukankah kau lapar?” Justin mengangguk cepat. Mereka masuk kedalam ruangan
besar, disana banyak prajurit yang sedang makan dan berbincang-bincang. “Jangan
menarik perhatian ya. Karena kau orang baru jadi jangan buat masalah.” Kata
Kevin. Baru saja Kevin mengatakan hal tersebut seorang pria memukul
perut Justin. Justin tersentak dan mengiris kesakitan. “Hei-hei, anak baru!
Lihat jalan mu, kenapa kau tidak beri hormat padaku?” kata pria tersebut. Pria
tersebut memiliki badan yang sama besarnya dengan Justin dengan seragam militer
yang sama dengan prajurit-prajurit yang lain, hanya yang membedakan adalah
sebuah lencana kecil di lengannya. Justin pun member hormat sambil memegangi
perutnya. “Bersikap yang benar!” bentak pria tersebut. Justin berdiri tegap dan
memberi hormat sekali lagi. “Hahahaha, lihatlah anak ini! Berapa umurmu?” “Dia
tujuh belas tahun.” Jawab Kevin cepat. “Begitu ya? Kalau begitu selamat
datang.” Kata pria tersebut menepuk pundak Justin dan pergi. “Aku dua puluh
satu tahun.” Kata Justin pelan. “Ya, kau katakan itu dan kau akan lebih lama
jadi mainannya.” “Siapa dia? Kenapa dia memukulku?” “Dia Henry, kepala regu
disini. Dia terkenal suka menindas anggota baru tapi dia pemimpin paling hebat
diantara kepala regu lainnya.” Justin mengangguk pelan. “Jadi dia orang
penting?” tanya Justin. “Ya, kurang lebih begitu. Aku juga bisa dibilang
setingkat atau bahkan termasuk orang yang lebih penting dari dia. Hahaha…”
Mereka
mengambil makanan dan duduk di sebuah meja. “Cepatlah makan!” kata Kevin
sembari mengambil sesendok makanannya. “Apa ini?” “Makan saja, aku juga tidak
tahu apa namanya.” Justin memandang seonggok adonan berbentuk seperti lembaran
roti di piringnya tersebut. “Kami tidak pernah makan ini di rumah.” Kevin tidak
membalas perkataannya. Justin pun mencicipi sesendok makanan tersebut. Dia
mengunyah dengan perlahan. “Ini kacang polong, dengan wortel dan kentang…. Ada
ayam… oat… tunggu… kenapa ada kismis?” “Astaga kubilang cepat makan! Aku masih
punya banyak kerjaan!” bentak Kevin. Justin terdiam dan segera menghabiskan
makanannya.
Setelah
menghabiskan makanannya Kevin membawa Justin ke sebuah bangunan, disana tidak
terlihat seperti gedung mess dan lebih terlihat seperti kantor. “Disini adalah
bagian administrasi.” Kata Kevin. Ia membawa Justin kesebuah ruangan. “Disini
adalah tempatku, tapi kalau tidak ada hal yang penting, aku mohon jangan
mencariku, aku punya banyak hal penting untuk dilakukan.” Tiba-tiba seorang
prajurit masuk kedalam dengan nafas tersenggal. “Ada apa?” tanya Kevin sedikit
panik. “Itu… Kita…. Hosh… Hosh…
Perlengkapan mandi kita tinggal sedikit, kau sudah hubungi logistik?” “Astaga Dave! Kau membuatku cemas! Besok lusa
suplai kita datang.” “Ya Tuhan… Bagaimana ini? Bagaimana kita hidup
tanpa kebersihan?” Kevin mulai kesal dan mendorong David keluar. Prajurit itu
keluar dan masih terus mengoceh. “Jadi itu pekerjaan pentingmu?” tanya Justin.
Kevin menutup mukanya dan menggeram.
“Kemarilah, aku
akan mengenalkanmu pada pemimpin kita disini.” Kata Kevin. Ia membawa Justin
kesebuah ruangan, disana terlihat seorang pria yang berumur sekitar dua puluh
tujuh atau dua puluh delapan tahun. Dia duduk dan membaca dokumen-dokumen
dengan tekun seperti tidak menyadari kedatangan Kevin dan Justin. “Jadi kamu
Justin Hazel Ainsworth?” kata pria tersebut sambil tetap melihat dokumen di
tangannya. “I-iya Pak!” Justin menjadi gugup.
“Justin, ini letkol Dillion Ethan Middleford dia adalah pemimpin kita
disini.” Kata Kevin. Justin menjadi semakin gugup dan tidak berani melihat
kearah Dillion. Dillion meletakkan dokumen-dokumennya dan melipat tangannya di
atas meja. “Justin, aku tahu semua hal ini asing bagimu. Begitu pula dengan
diriku saat seusiamu. Kau pasti mempunyai kehidupan yang tidak bisa kau
tinggalkan, aku tahu kau pasti tidak rela. Tapi disituasi seperti ini kami
tidak punya pilihan selain merekrut pasukan dari kaum sipil. Maafkan kami
karena telah memaksamu ikut dalam perang tapi kami semua disini adalah
keluargamu dan kami pasti akan melindungi satu sama lain. Justin, aku bisa
melihat kau adalah anak yang baik. Lakukanlah yang terbaik dan buat orang tua
mu bangga.” Perkataan Dillion membuat Justin merasa lebih baik, ia tersenyum. “Siap
Pak!”
“Baiklah,
kurasa kami harus melanjutkan tur ini, aku pamit dulu.” Kata Kevin. Dillion
mengangguk sambil mengayunkan tangannya mengisyarakatkan bahwa mereka boleh
pergi. “Tidak biasanya ia banyak bicara.” Gumam Kevin. “Baiklah, aku akan
mengambil berkas mu dan kita lihat kau ditempatkan dimana.” Kevin membawa
Justin kearah seorang pria yang sibuk dengan komputernya. “Robert, bisakah kau memberitahuku dimana regu anggota
baru kita ini ditempatkan?” Tanya Kevin. “Coba kulihat sebentar, berkasnya baru
datang tadi. Ehm…. Justin Hazel Ainsworth ditempatkan di regu A1.” “Yap,
sepertinya aku harus jujur padamu Justin.” Kata Kevin menghela nafas. “Ada
apa?” tanya Justin. “Matilah kau.” Bisik Kevin. Justin menjadi binggung dan
takut. “Kepala regumu adalah Henry. Ya seperti yang kau tahu itu akan sangat
berat. Besok jam lima pagi ketika sirine berbunyi kau harus segera memakai
seragammu dan mencari regumu. Kalian akan marathon mengelilingi batalyon
sepuluh kali kemudian mandi, sarapan di kantin pukul delapan tepat dan harus
segera berkumpul di lapangan untuk melakukan kegiatan halang rintang jam
sepuluh pagi. Kemudian kalian makan siang pukul dua belas dan dilanjutkan
pelatihan senjata dan strategi sampai pukul lima sore. Setelah itu mandi dan
makan, dan pukul sembilan malam semua lampu ditutup dan kalian harus tidur.
Kehidupan yang membosankan, tapi begitulah menjadi seorang prajurit.” Kata
Kevin, ia mengambil seragam dari Robert dan menyerahkannya pada Justin.
“Baiklah.” Jawab Justin. Ia tidak tahu apakah ia akan menyukai kegiatan barunya
esok hari.
“Sekarang sudah
jam empat sore, sepertinya dia tidak sedang sibuk. Ayolah, aku akan mengajakmu bertemu seseorang yang
paling ditakuti disini.” “Kalau dia ditakuti kenapa kita menemuinya?” Kevin
menarik nafas panjang. “Dia adalah sniper terbaik disini, Dylan Salverino
Skyfeller. Dia bisa menggunakan semua jenis senjata dan dia yang terbaik. Dia
yang akan mengajarimu menggunakan senjata nantinya. Kuharap kau tidak
macam-macam dengannya ada yang dibilang dia tidak punya rasa takut dan rasa
kasihan. Kau bisa saja dibunuhnya jika dia kesal.” Mendengar perkataannya
Justin menjadi ketakutan, wajahnya menjadi pucat. “Kurasa ia ada di ruangannya,
ayolah dia ada di lantai dua.” Kata Kevin sambil menarik tangan Justin. Pandangan
Justin menjadi datar dan ia terlalu takut untuk menemuinya. Namun kakinya hanya
bisa terus melangkah mengikuti Kevin. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil
Kevin. “Kevin, divisi utama mencarimu. Sepertinya sangat penting!” Kata
prajurit yang memanggilnya tadi. “Sepertinya aku tidak bisa menemanimu lagi,
kau pergilah temui dia sendiri. Dia ada di ruangan itu, ketuk saja pintunya dan
bilang kau anggota baru dan ingin belajar menggunakan senjata.” Kata
Kevin sambil menunjuk ruangan yang dimaksud. Justin hanya terdiam melihat Kevin
yang berlari meninggalkannya.
Justin terdiam
sejenak, ia mengambil nafas panjang. Perlahan ia mulai melangkahkan kakinya
keruangan yang dimaksud. Suasananya menjadi semakin sunyi. “Mungkin tidak ada
orang.” Pikir Justin. Ia berniat untuk kembali tapi ia bahkan belum mengetuk
pintunya bagaimana mungkin ia pergi begitu saja? Tanpa disadari tangannya
mengetuk pintu tersebut. “Masuk saja.” Kata seseorang di dalam. Perlahan Justin
membuka pintu tersebut sambil menunduk kebawah. Ia membayangkan seorang pria
yang menyeramkan dengan tatapan yang tajam mengerikan. Perlahan ia mengadahkan
kepalanya. Ternyata hanya seorang prajurit berdiri di dekat jendela. Tubuhnya begitu pendek mungkin hanya 5’4”,
ia memandang keluar jendela tanpa memperdulikan Justin. “Mungkin ia juga
mencari tuan Dylan.” Pikir Justin. “Ini hari pertamamu ya?” tanya prajurit
tersebut. “Ya.” Jawab Justin singkat. “Berapa umurmu?” tanya prajurit tersebut.
“Aku dua puluh satu tahun.” “Orang tua mu menyembunyikanmu dari wajib militer
ya?” “Sebenarnya bukan begitu. Kami tinggal di sebuah bukit yang terpencil jadi
sebenarnya kami tidak tahu apa-apa.” “Kalau begitu besok akan menjadi hari yang
berat untukmu.” “Kalau begitu aku mohon bantuannya.” Justin berjalan
kearah prajurit tersebut untuk menjabat tangannya. “Kenalkan aku Justin Hazel
Ainsworth.” Prajurit tersebut membalikkan badannya menghadap Justin. “Aku Dylan
Salverino Skyfeller.” Jantung Justin seakan ingin lepas ia tidak menyangka
dihadapannya adalah orang yang paling ditakuti di batalyon dan ia
memperlakukannya seakan orang tersebut seperti prajurit yang lain. Tangannya
gemetar menyambut tangan Dylan yang dingin.
Dillion melewati lorong yang sepi
sambil melipat dokumen yang sebelumnya dipegang dengan tangan kirinya. Tempat yang
dia tuju tidak terlalu jauh dari ruangannya tapi dengan tekanan dari laporan
yang baru dibacanya jarak tiga puluh meter terasa cukup jauh untuk ditempuh.
Sampai di depan ruangan yang dituju, Dillion berdiri diam menarik napas
dalam-dalam. Sebuah papan dengan tulisan “Ruang Kendali” tergantung di sisi
atas tepat di antara kedua daun pintunya yang terbuat dari besi. Dillion
mendorong daun pintu sebelah kiri dengan tangan kanan yang tidak memegang
dokumen. Ruang kendali dengan luas kurang lebih 60 yard persegi diterangi enam
bola lampu dalam susunan dua baris menyamping dengan tiga bola lampu setiap
barisnya. Tanpa lampu pun ruangan itu sudah cukup terang pada siang hari dengan
cahaya matahari yang masuk menembus jendela kaca anti peluru di sepanjang dinding
ruangan. Kevin yang duduk di sisi kiri ruangan dengan sebuah headphone menutupi
kedua telinganya menoleh ke arah Dillion dan kembali mengalihkan pandangannya
kepada layar-layar dan keyboard di hadapannya. Layar-layar itu menampilkan berbagai
gambar dan grafik yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh orang-orang
sepertinya. “Sudah baca laporanku?” tanya Kevin sambil menarik turun headphone
yang menutupi telinga kirinya. “Ya. Hancurkan jembatan penghubung sungai. Regu
Peter sudah cukup.” Dillion kembali melihat dokumen yang telah dilipat sebelum
meletakkannya di atas meja dengan gambar peta yang menutupi sebagian besar
permukaan meja yang terbuat dari kayu. Diatas gambar peta terpasang sebuah
monitor kecil dengan layar menghadap langit-langit. Monitor yang ditanam dalam
meja itu dalam keadaan mati. Di setiap sisi meja tersusun rapi dua buah kursi besi dengan total delapan
kursi mengelilingi meja. “Tapi pasukan
tambahan harus melewati jembatan itu, Pak. Batalyon 2B sedang menyiapkan
pasukan tambahan dan akan tiba dalam lima hari.” Kata Kevin. Dia memutar kursinya menghadap Dillion.
“Hubungi Batalyon 2C dan minta mereka kirimkan pasukan tambahan. Kita tidak
mungkin meminta bantuan Batalyon 2B.” Terang Dillion sambil mengamati peta di
atas meja. “Ya, bukan hanya pasukan kita yang dapat melewati jembatan itu,
pasukan musuh juga dapat melewatinya. Jika mereka menyerang dengan dua batalyon
kau tahu apa yang mungkin terjadi, Kevin.” kata seorang gadis dengan pakaian
tentara yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tidak terlalu
tinggi, sekitar 5’6”, rambut hitam kecoklatanya diikat satu ke belakang dan
mata coklat gelapnya menatap tajam Kevin. “Aku mengerti, Iorie. Aku akan
menghubungi Batalyon 2B agar mereka tidak mengirim bantuan, benar ‘kan?!” Kevin
mengutak-atik keyboardnya, melihat layar di sisi paling kanan dan kembali
berkutat dengan keyboardnya sampai dia terhubung dengan Batalyon 2B.
♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦
Iorie meraih dokumen di atas meja
tanpa bangkit dari kursinya sementara Kevin menghubungi Peter setelah menyelesaikan
urusannya dengan Batalyon 2B. Dillion mengintip ke luar jendela. Pemandangan
yang terlihat hampir hanya pepohonan dengan dataran tinggi yang mengelilinginya
jika tidak ada air terjun dengan aliran sungai deras mengalir di sisi kiri
markas. Markas musuh terlihat di kejauhan dekat kaki air terjun, sebuah batalyon
dengan bangunan yang terlihat kokoh. Di seberang sungai, markas Batalyon 2E
yang bersama dengan Batalyon 2A Dillion ditugaskan melindungi Kota Watervalley
di sisi timur terlihat jelas. Sebagian dinding depan markas yang hancur berwarna hitam menunjukkan bekas
ledakan. Batalyon 2A sedang mengalami serangan saat Batalyon 2E diserbu.
Walaupun berhasil bertahan dan menghalau musuh dari sisi kiri sungai dengan
sisa pasukan Batalyon 2E yang berhasil mundur sampai jembatan penghubung,
jumlah pasukan tersisa Batalyon 2A hanya sekitar 600 orang. Kedua batalyon
pasukan musuh mundur setelah sebagian dari mereka terbunuh. Gencatan senjata
sementara dilakukan walaupun dari segi jumlah pasukan musuh masih lebih unggul.
Dillion mengalihkan pandangannya, memperhatikan kesibukan para bawahannya di
areal lapangan markas. Melihat senyum kecil di wajah mereka. Setidaknya masih
ada kesenangan yang dapat mereka rasakan dalam kondisi tidak menyenangkan ini.
Iorie melihat senyum hangat di wajah Dillion dari pantulan kaca. “Serangan
dapat dimulai kapan saja kau harus selalu siaga. Berdasarkan informasi dari
Kevin pasukan tambahan akan tiba paling cepat dalam tiga hari” Iorie meletakkan
dokumen di tangannya ke atas meja dan bangkit dari kursinya. Dillion
membalikkan badannya mendengar ucapan Iorie. “Jika mereka menyerang sebelum itu kita dalam masalah besar.” Gadis
itu menatap Dillion dengan wajah datar. “Aku tahu. Hanya karena aku
memperhatikan hal lain bukan berarti aku tidak fokus.” Dillion tersenyum kecil,
“Jika kalian membutuhkanku aku ada di ruanganku.” Dillion melangkah keluar
meninggalkan Ruang Kendali. “Seorang
pria bertubuh kurus, sepertinya anggota baru dari regu A5, beberapa hari ini
aku melihatnya berkeliran di sekitar ruang kendali dan ruanganku. Sebaiknya
peraturan untuk anak baru diperketat, Midlleford.” Dillion mengangguk pelan
sambil tersenyum. Iorie mengikuti langkah pria itu, menatapnya sampai
dia masuk ke ruangannya dan berjalan ke arah yang berlawan dengan pria itu
menuju ruangannya sendiri.
Bersamaan dengan suara ledakan
keras telepon di meja Dillion berdering. Dengan cepat dia membalikkan kursinya
dan mengangkat telepon. “Ya, aku mendengar suaranya. Kerja bagus.” Jembatan
penghubung telah dihancurkan. Musuh tidak dapat menyerang dari arah sana.
Serangan hanya akan dari satu arah, batalyon di dekat kaki air terjun. Saat
pasukan tambahan mereka tiba mungkin pasukan tambahan musuh juga tiba t.api musuh kehilangan ahli strategi
mereka dalam serangan sebelumnya, berkat sniper-sniper yang ditempatkan dekat
akses logistik musuh dan seorang
penyusup yang akhirnya gagal kembali ke markas. Letnan Kolonel memang dapat
menyusun strategi penyerangan tapi tidak sebaik jika didampingi ahli strategi
yang mengkhususkan diri di bidangnya. Dillion tetap memikirkan strategi terbaik
yang dapat disusunnya walaupun dia memiliki Iorie bersamanya. Karena hanya satu
batalyon yang tersisa untuk melindungi Kota Watervalley di sisi timur, dia
berusaha melakukan hal lain yang dapat dilakukannya selain memimpin pasukan dan
menggunakan senjata. Jika kota terbesar keempat itu berhasil diambil alih musuh
keadaan pemerintahan dan perekonomian akan semakin tidak stabil. Walaupun Batalyon
2B dan Batalyon 1C dapat mengurus batalyon musuh yang menghancurkan Batalyon
2E, juga jembatan penghubung sebagai akses utama telah dihancurkan, dia tidak
dapat meremehkan Batalyon Letkol Ronalson, batalyon di dekat kaki air terjun.
Dia tidak tahu pasti seberapa banyak pasukan bantuan yang bisa didapatkan Ronalson,
secepat apa pasokan logistiknya sampai atau sehebat apa pasukan khusus yang
mungkin masih dimilikinya. Dillion mempersiapkan diri untuk menghadapi
kemungkinan terburuk yang terpikirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar