Will be updated soon!!!

Senin, 24 Oktober 2016

Chapter 1



Pagi yang cerah dan sangat tenang, sinar matahari yang hangat perlahan masuk melalui jendela dapur. Disana seorang wanita setengah baya sibuk memotong sayuran diiringi musik klasik yang diputar dari piringan hitam model lama. Sesekali pandangannya beralih keluar jendela dimana suami dan anaknya memberi makan ternak mereka. Ia tersenyum bahagia seakan-akan penantian mereka selama berpuluh-puluh tahun akan seorang anak sama sekali tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka bahwa hari demi hari yang mereka lewati bersama yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian. Tampaknya Tuhan sangat adil pada mereka, mereka selalu berbuat baik, saleh, polos dan hidup penuh dengan kesederhanaan sehingga mereka dianugrahi seorang putra yang sama baiknya dengan mereka. Tiba-tiba wanita itu tersentak mendengar suara siulan dari teko air yang mendidih. Dia segera mematikan apinya dan membuat kopi untuk suaminya. Masakannya juga telah selesai, tubuhnya yang sudah tua dengan lincah mengangkat masakannya dan ditata rapi di piring. 

“Justin, suamiku, sudah cukup kerjanya! Makanlah dulu.” Wanita itu memanggil. “Baiklah Bu!” sahut Justin anaknya, ia dan ayahnya segera membereskan ember-ember tempat pakan ternak dan segera bergegas kembali ke rumah untuk sarapan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendengar suara ketukan pintu diluar rumah, ia segera membenahi diri dan membukakan pintu. Ternyata dua orang pria berseragam tentara mendatangi mereka. Wanita itu sangat heran karena mereka tidak punya kenalan dari kalangan militer. “Selamat pagi Nyonya, kami disini untuk meminta bantuan dari masyarakat.”Kata seorang prajurit. “Silakan masuk dulu tuan-tuan, kita bicara di dalam.” Kata wanita tersebut. Kedua prajurit tersebut saling berpandangan dan kemudian menerima ajakan wanita tersebut. “Kalian ingin kopi atau teh?” tanyanya. “Tidak usah repot-repot Nyonya, sebenarnya kami sedang terburu-buru,” kata seorang dari mereka. “Baiklah.” Kata wanita itu sedikit gugup. “Sebenarnya kami disini untuk meminta bantuan dari masyarakat karena kami kekurangan personil.” Kata prajurit tersebut. “Saya tidak mengerti maksudnya. Tentu kami akan membantu tapi apa yang bisa kami bantu?” tanya wanita tersebut. “Kami ingin mengajak putra anda untuk menjadi prajurit.” Kata prajurit tersebut. “Mungkin ini berat bagi Nyonya tapi negara saat ini sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat.” Kata prajurit satunya. Wanita itu terdiam sejenak, ia merasa sangat binggung. Bagaimana ia bisa menyerahkan putra tunggalnya untuk berperang? Tapi bagaimanapun juga Tuhan telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi orang tua bagaimana ia bisa menjadi sangat egois?


“Ibu, kenapa ada prajurit di rumah kita? Apa ayah kenal mereka?” tanya putranya yang baru tiba. Kedua orang tuanya terdiam. Kedua prajurit tersebut memperhatikan Justin, ia memiliki postur yang bagus, tubuhnya tinggi sekitar 6’4” dan tegap, terlihat sangat sehat dan kuat. “Berapa umurmu nak?” Tanya salah satu prajurit tersebut. “Dua puluh satu.” Jawab Justin gugup. Prajurit tersebut mengambil nafas panjang. “Biasanya seorang anak laki-laki ikut militer dari umur 15-17 tahun. Kenapa kamu masih disini nak?”. Justin kebingunggan, ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian ayah menepuk pundaknya. “Tuan-tuan, saya sangat mengerti tujuan kedatangan anda. Seperti yang anda lihat tempat kami sangat terpencil jadi ini baru pertama kali prajurit datang kemari. Saya harap kalian tidak salah paham.” Kata ayah Justin. Ia melihat kearah istrinya, mereka saling bertatapan dalam diam dan kemudian istrinya mengangguk. “Tuan-tuan, kami ini sudah tua dan Justin adalah satu-satunya anak kami. Ia adalah karunia terbesar di keluarga kami, ia baik, rajin, dan sangat berbakti pada orang tua. Tapi Tuhan punya rencana dan kami yakin Tuhan itu sangat adil. Justin anakku, kau sudah tumbuh menjadi pria dewasa dan sudah saatnya kau memiliki tanggung jawab. Tuan-tuan, kami sama sekali tidak keberatan jika kau mau mengajak putra kami ikut perang.” Kata ayah Justin. “Perang? Ayah, kenapa ada perang? Aku tidak mau ikut perang, mereka membunuh orang.” Kata Justin polos. “Justin, bukankah kau sejak dulu sangat menginginkan seorang teman? Disana akan ada banyak anak seusiamu. Kau bisa memiliki banyak teman disana.” Kata ibu Justin. “Tapi itu berarti ayah dan ibu akan sendirian, siapa yang akan menjaga kalian?” tanya Justin keberatan. “Kami tidak apa-apa nak. Ayah dan Ibumu ini masih sangat sehat tapi ingatlah walaupun kau sudah punya banyak teman disana jangan lupa untuk pulang ya.” Kata Ibunya sambil memegang tangannya dengan lembut. “Tuan dan Nyonya jangan khawatir walaupun ia akan menjadi prajurit tapi dia tetaplah warga negara yang akan kami lindungi dengan nyawa kami sendiri.” Kata salah satu prajurit tersebut.
Keluarga tersebut berpelukan sangat erat, sejak dulu mereka tinggal di bukit tanpa ada tetangga dan saudara sehingga hubungan mereka sangatlah erat. Walaupun sangat berat bagi mereka namun mereka tetap berlapang dada. Justin akhirnya dibawa oleh kedua prajurit tersebut dengan mobil militer. Kedua orang tuanya berusaha membendung air mata mereka. Mereka tidak ingin putra mereka memiliki beban saat berpisah dengan mereka. Dalam hati mereka berharap putra mereka bisa berguna bagi banyak orang, mereka ikhlas jika harus kehilangan putra mereka.

Justin telah meninggalkan Vashcally Hill, bukit tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Vashcally Hill paling tidak hanya ketika ia membantu ayahnya menjual hasil kebun atau ternak mereka. Dalam hati ia merasa sangat sedih harus meninggalkan orang tuanya, ia sama sekali tidak berpikir tentang apa yang akan dia hadapi di medan perang untuk saat ini. Ia merasa seperti anak burung yang baru belajar untuk terbang. Meninggalkan sarangnya dan melihat apa yang tidak pernah ia lihat sebelumnya merasakan setiap terpaan angin dan udara yang berbeda dari yang ia rasakan selama ini. Ia merasa sangat kecil dan tidak berdaya walaupun disisi lain ia merasa bebas. Ia menguatkan hatinya, terlintas dipikirannya bahwa akan ada banyak anak seusianya yang bisa menjadi temannya sesuatu yang selama ini hanya ada didalam bayangannya. Ia tidak pernah mendapatkan pendidikan di sekolah. Ia tidak tumbuh sebagai anak yang bermain-main dengan temannya saat kecil karena tempat tinggalnya memang sangat terpencil. Memikirkan hal itu membuatnya semakin bersemangat untuk menapaki dunianya yang baru.

Setelah empat jam perjalanan yang sangat jauh seorang prajurit mulai berbicara. “Namamu Justin kan?” tanya seorang prajurit. Justin mengangguk pelan dan mengigit bibir bawahnya. “Namaku Albert dan ini Geoff. Santai saja, sebentar lagi kita sampai.” Kata prajurit tersebut. “Kita akan kemana Pak?” tanya Justin. “Kau akan ditempatkan di Batalyon Tn. Middleford. Banyak prajurit seusiamu disana dan mereka sangat hebat. Kau bisa belajar banyak disana.” Kata Geoff. Justin mengangguk pelan dan menunduk. Mengetahui bahwa ia akan segera sampai membuatnya semakin gugup, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap pada orang-orang baru apalagi pada anak-anak seusianya. “Batalyon ini sangat penting, kami harap kau bisa belajar dengan baik dan membantu batalyon ini dengan baik. Pada awalnya pasti sangat berat bagimu secara fisik ataupun mental. Kami semua pernah melaluinya.” Kata Albert serius. “Aku pasti akan melakukan yang terbaik Pak!” kata Justin dengan suara lantang walaupun sedikit gemetar. “Ya, begitu baru semangat anak muda!” kata Albert senang sambil menepuk pundak Justin. “Tapi sebenarnya kenapa ada perang Pak?” tanya Justin. Kedua mata prajurit tersebut terbelalak. “Kau benar-benar tidak tahu?” tanya Albert keheranan. Justin mengangguk cepat, Albert menghela nafasnya dan tidak percaya bahwa masih ada warga yang tidak menyadari bahwa perang telah terjadi di negara mereka. “Negara kita telah terpecah menjadi dua kubu dengan idealisme yang berbeda. Pemerintah kita sebenarnya ingin menganut paham liberalis, namun di satu pihak ada yang menanggap liberalis hanya akan membuat kesenjangan nantinya sehingga mereka memberontak. Orang-orang tersebut menganut paham sosialis dan jumlah dukungan mereka semakin kuat. Akibat perang saudara ini negara kita dijauhi negara lain, perdagangan internasional berhenti dan negara kita semakin terpuruk.” Kata Albert menjelaskan. Justin sebenarnya kurang mengerti karena ia tidak pernah sekolah namun yang ia tahu bahwa telah terjadi perang saudara di negaranya. 

Akhirnya mereka sampai di suatu bangunan yang besar terdapat beberapa prajurit menjaga pintu masuk yang terlihat begitu kokoh dan besar. “Selamat siang Michael.” Sapa Geoff kepada seorang penjaga. Penjaga tersebut segera memerintahkan untuk membuka pintu. “Seorang anggota baru lagi ya? Ia terlihat dapat diandalkan.” Kata Michael. “Bukankah semua anggota disini adalah yang terbaik?” Kata Geoff sambil tertawa. Mereka pun segera masuk ke dalam markas, disana Justin melihat banyak sekali prajurit dengan macam-macam kesibukannya. Ada yang berlatih halang rintang, ada yang berlarian membawa amunisi, ada yang baris-berbaris dan melakukan hal-hal lainnya yang tidak begitu jelas bagi Justin. Tak lama kemudian mobil mereka sampai disebuah bangunan yang tidak terlalu besar, bangunan tersebut hanya terdiri dari satu lantai dan terlihat sepi. “Baiklah kita sudah sampai, saatnya mendaftarkan namamu dan melakukan beberapa tes kesehatan.” Kata Geoff. Mobil pun berhenti dan Justin turun dengan gugup. Beberapa prajurit melihat kearah mereka dan membuat Justin semakin gugup. “Santai saja.” Kata Albert sambil merangkul pundak Justin dan membawannya masuk ke dalam. “Albert, Geoff, sepertinya kalian membawa anggota baru lagi ya? Tapi kenapa kali ini hanya satu orang?” Tanya seorang pria yang berpakaian seperti dokter. Ia masih terlihat muda dan wajahnya terlihat sangat ramah. “Begitulah Randolph, Kami pergi ke Vashcally Hill. Seperti yang kau tahu disana adalah tempat yang cukup terpencil.” Jawab Albert. Dokter tersebut melihat Justin dengan seksama. “Siapa namamu dan berapa umurmu nak?” “Justin Hazel Ainsworth, dua puluh satu tahun.” Jawab justin. Randolph mengambil sebuah formulir di meja dan sebuah pena. “Isilah data dirimu disini nak.”. Justin mengambilnya dengan gugup, sebenarnya ia bisa membaca dan menulis namun tidak terlalu sering melakukannya. “Duduklah disini.” kata Randolph menunjuk sebuah meja kecil disebelah mejanya. “Aku akan mengurusnya dari sini, kalian pergilah.” Katanya. Albert dan Geoff mengangguk “Jaga dirimu nak.” Kata Albert sembari pergi meninggalkannya. 

Tidak butuh waktu lama bagi Justin untuk menyelesaikan form tersebut. Ia menyerahkannya pada Randolph dengan gugup. Randolph membaca dengan seksama dan mengeritkan dahinya. “Kau tidak pernah sekolah?” tanyanya. Justin mengangguk pelan. “Lalu siapa yang mengajarimu membaca dan menulis?”  “Ibuku yang mengajari.” Jawab Justin singkat. Wajahnya berubah menjadi merah, itu terjadi setiap kali saat ia merasa malu. Randolph tertawa keras butuh beberapa saat sampai dia bisa mengontrol dirinya. “Tidak apa-apa nak, aku tidak menertawakanmu karena tidak sekolah tapi wajahmu itu seperti tomat.” Perkataan Randolph membuat wajah Justin semakin merah. “Sekarang buka semua bajumu nak.” Katanya sambil terus menahan tawa. Kali ini wajah Justin semakin merah dan sepertinya tidak bisa menjadi lebih merah lagi. “Aku serius.” Katanya dan tertawa lagi kemudian. “Aku harus melihat  apakah ada kelainan fisik di tubuhmu. Jika ada maka kau tidak boleh ikut perang dan harus kembali ke rumah.” Jelasnya. Justin pun melepas pakaiannya dengan gugup. “Tunggu, jika aku memiliki cacat fisik aku bisa pulang ke rumah?” Pikir Justin. Ia merasa entah kenapa ia berharap punya cacat sekarang, tapi kalau ia punya cacat ia tidak bisa membantu ayahnya di peternakan lagi. Tanpa sadar Randolph telah selesai mengeksaminasi tubuhnya. “Wah nak, kau punya tubuh yang bagus! Apakah kau bermain bola atau semacamnya?” tanya Randolph. “Tidak, aku hanya terbiasa membantu ayahku di peternakan.” “Ah, tentu saja! Kau memiliki tubuh yang sangat sehat. Selamat kau lulus tes dan bisa menjadi prajurit sekarang.” Entah kenapa Justin merasa senang, mungkin karena ia tidak pernah menjalani tes apapun sebelumnya dan lulus dalam tes itu. 

Randolph kemudian mengambil telepon dan menelepon seseorang. “Kau datanglah kemari, ada anak baru… Apa maksudmu tidak bisa? Itukan tugasmu… Aku mengerti. Tapi kau yang biasanya melakukan itu, tidak ada yang lebih baik darimu dalam melakukan hal ini… hahahaha… baiklah terimakasih Kevin.” Randolph menutup telepon dan tertawa kecil. “Sebentar lagi Kevin akan datang, ia akan menjelaskan beberapa hal tentang batalyon ini padamu.” Justin mengangguk pelan, ia penasaran siapakah yang akan datang apakah seorang prajurit yang biasanya memimpin dan berwibawa? Tiba-tiba ia mendengar suara pintu yang dibuka, ia menelan ludahnya karena gugup. Terlihat seorang prajurit yang masih muda, mungkin seusianya. Tubuhnya kurus dan tidak terlalu tinggi, tidak juga pendek dan memakai kacamata yang cukup tebal. “Pasti bukan dia.” Pikir Justin. “Ah! Justin ini Kevin, dia adalah kepala bagian informasi dan komunikasi. Dia yang terbaik dibidangnya dan dalam beberapa hal seperti memberikan tur untuk anak baru.” Kata Randolph. Anak itu membetulkan kacamatanya dan dan memandang Justin semakin dekat. “Hei, berapa umurmu?” Justin menjadi canggung. “Aku Justin, dua puluh satu tahun.” Kevin tersentak. “Astaga? Kau terlalu tua untuk jadi anak baru! Tidak apa aku kenal beberapa anak sepertimu yang terlalu takut untuk berperang atau disembunyikan orangtuanya karena tidak rela kehilangan anak emasnya. Tapi cukup aneh jika melihat fisikmu yang besar dan kekar dan kenyataan bahwa kau terlalu takut untuk berperang? Cukup aneh… Apakah kau pernah berkelahi?” Randolph mengiris mendengar ocehan Kevin dan menutup mulutnya. “Sepertinya sudah saatnya kalian pergi.” Katanya sambil mendorong Kevin dan Justin keluar dan segera menutup pintu. “Lihatlah, orang-orang disini sudah tidak sopan!” kata Kevin kesal. Justin hanya tertawa kecil.

“Baiklah, ikutlah denganku!” ajak Kevin. Mereka berjalan ke arah kerumunan orang yang sibuk, beberapa dari mereka melihat Justin dengan pandangan heran. “Aku akan membawamu ke dalam mess, kau bisa meletakkan barangmu dulu disana.” Kata Kevin. Mereka terus berjalan ke arah bangunan mess yang cukup besar berwarna abu-abu tersebut. Kevin membawa Justin ke sebuah tempat yang terlihat seperti loket. “Hei, apakah masih ada tempat kosong untuk anak baru?” tanya Kevin pada seseorang di loket. “Sayang sekali tidak ada tempat lagi.” “Ah, yang benar saja? Masa kau suruh dia tidur di kamar mandi?” kata Kevin keberatan. “Ya, sebenarnya ada satu sih… Ya, kau tahukan sebenarnya masih ada tempat di kamar pria itu.” Kata pria di loket tersebut. Kevin terdiam sejenak. “Memang sebaiknya kau tidur di kamar mandi, anak baru seperti dirimu harus latihan fisik.” Kata Kevin sambil menarik tangan Justin. Justin yang kebingunggan menurut saja. “Hei! Kau tidak serius menyuruhnya tidur di kamar mandi kan?” kata pria tersebut mencegah Kevin. Kevin menghela nafasnya “Kau tunggu disini.”. Kevin kembali ke loket tersebut dan terlihat berdebat dengan pria di loket tersebut. Beberapa saat kemudian ia kembali dan membawa sebuah kunci di tangannya. Ia mengadahkan kepalanya dan menatap mata Justin dengan penuh keprihatinan dan kemudian menggelengkan kepalanya, membuat Justin semakin tidak mengerti. “Ayo.” Ajak Kevin. Mereka pergi ke lantai lima yang merupakan tempat paling atas, keadaan disana lebih sepi dari dibawah. Kevin menaruh telapaknya di dada Justin sebagai isyarat untuk tetap diam di tempatnya. Ia kemudian pergi menuju sebuah pintu dan mengintip kedalam. Beberapa saat kemudian ia membuka pintunya dan menyuruh Justin untuk masuk, Justin pun segera menghampirinya. “Cepat letakkan barangmu dan keluar dari sini!” kata Kevin. Justin meletakkan tasnya ke tempat tidur dan segera keluar. “Kenapa kau seperti ketakutan?” bisik Justin. Kevin tidak menghiraukannya dan segera mengunci ruangan tersebut. “Cepat! Aku masih harus menjelaskan beberapa peraturan padamu.” Kata Kevin sambil berjalan turun kebawah. Justin segera berlari kecil mengikutinya. 

“Pertama kau harus menemui paman Ron, dia akan mengurus rambut merahmu itu.” Justin tampak binggung. “Kenapa dengan rambutku?” tanya Justin. “Astaga kenapa kau begitu bodoh? Rambutmu harus dicukur agar tidak menyusahkan dalam perang. Maksudku musuh bisa saja menarik rambutmu dan itu menjadi halangan. Jadi setiap  dua minggu sekali kau harus temui dia atau tidak dia yang akan memburumu dan hal itu tidak menyenangkan.” Kata Kevin. Kevin membawanya kesebuah ruangan di lantai dasar, disana terlihat seorang pria berumur sekitar 50 tahunan. “Paman Ron, aku membawa anggota baru.” Kata Kevin. Ron melihat Justin dengan seksama dan menyuruh Justin duduk untuk dicukur. “Kau punya rambut yang bagus seperti malaikat hahahaha…” kata ron sambil mencukur rambut Justin dengan cekatan. “Siapa namamu nak? Berapa umurmu?” “Namaku Justin, aku dua puluh satu tahun.” Ron tampak kaget. “Baiklah, sudah selesai.” Kata Ron sambil mendorong kasar Justin dari kursi. “Baiklah terimakasih paman.” Kata Kevin sambil membawa Justin pergi. “Ingat! Dua minggu sekali kau harus datang kesini mengerti?” “i-iya.” Jawab Justin gemetar.

Kevin terus berjalan tanpa mengatakan pada Justin tujuan mereka. Samar-samar Justin mencium bau makanan. Perutnya sangat lapar, tadi pagi ia melewatkan sarapan. “Ya, aku membawa mu ke kantin. Bukankah kau lapar?” Justin mengangguk cepat. Mereka masuk kedalam ruangan besar, disana banyak prajurit yang sedang makan dan berbincang-bincang. “Jangan menarik perhatian ya. Karena kau orang baru jadi jangan buat masalah.” Kata Kevin. Baru saja Kevin mengatakan hal tersebut seorang pria memukul perut Justin. Justin tersentak dan mengiris kesakitan. “Hei-hei, anak baru! Lihat jalan mu, kenapa kau tidak beri hormat padaku?” kata pria tersebut. Pria tersebut memiliki badan yang sama besarnya dengan Justin dengan seragam militer yang sama dengan prajurit-prajurit yang lain, hanya yang membedakan adalah sebuah lencana kecil di lengannya. Justin pun member hormat sambil memegangi perutnya. “Bersikap yang benar!” bentak pria tersebut. Justin berdiri tegap dan memberi hormat sekali lagi. “Hahahaha, lihatlah anak ini! Berapa umurmu?” “Dia tujuh belas tahun.” Jawab Kevin cepat. “Begitu ya? Kalau begitu selamat datang.” Kata pria tersebut menepuk pundak Justin dan pergi. “Aku dua puluh satu tahun.” Kata Justin pelan. “Ya, kau katakan itu dan kau akan lebih lama jadi mainannya.” “Siapa dia? Kenapa dia memukulku?” “Dia Henry, kepala regu disini. Dia terkenal suka menindas anggota baru tapi dia pemimpin paling hebat diantara kepala regu lainnya.” Justin mengangguk pelan. “Jadi dia orang penting?” tanya Justin. “Ya, kurang lebih begitu. Aku juga bisa dibilang setingkat atau bahkan termasuk orang yang lebih penting dari dia. Hahaha…”

Mereka mengambil makanan dan duduk di sebuah meja. “Cepatlah makan!” kata Kevin sembari mengambil sesendok makanannya. “Apa ini?” “Makan saja, aku juga tidak tahu apa namanya.” Justin memandang seonggok adonan berbentuk seperti lembaran roti di piringnya tersebut. “Kami tidak pernah makan ini di rumah.” Kevin tidak membalas perkataannya. Justin pun mencicipi sesendok makanan tersebut. Dia mengunyah dengan perlahan. “Ini kacang polong, dengan wortel dan kentang…. Ada ayam… oat… tunggu… kenapa ada kismis?” “Astaga kubilang cepat makan! Aku masih punya banyak kerjaan!” bentak Kevin. Justin terdiam dan segera menghabiskan makanannya. 

Setelah menghabiskan makanannya Kevin membawa Justin ke sebuah bangunan, disana tidak terlihat seperti gedung mess dan lebih terlihat seperti kantor. “Disini adalah bagian administrasi.” Kata Kevin. Ia membawa Justin kesebuah ruangan. “Disini adalah tempatku, tapi kalau tidak ada hal yang penting, aku mohon jangan mencariku, aku punya banyak hal penting untuk dilakukan.” Tiba-tiba seorang prajurit masuk kedalam dengan nafas tersenggal. “Ada apa?” tanya Kevin sedikit panik. “Itu… Kita…. Hosh… Hosh…  Perlengkapan mandi kita tinggal sedikit, kau sudah hubungi logistik?” “Astaga Dave! Kau membuatku cemas! Besok lusa suplai kita datang.” “Ya Tuhan… Bagaimana ini? Bagaimana kita hidup tanpa kebersihan?” Kevin mulai kesal dan mendorong David keluar. Prajurit itu keluar dan masih terus mengoceh. “Jadi itu pekerjaan pentingmu?” tanya Justin. Kevin menutup mukanya dan menggeram.  

“Kemarilah, aku akan mengenalkanmu pada pemimpin kita disini.” Kata Kevin. Ia membawa Justin kesebuah ruangan, disana terlihat seorang pria yang berumur sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Dia duduk dan membaca dokumen-dokumen dengan tekun seperti tidak menyadari kedatangan Kevin dan Justin. “Jadi kamu Justin Hazel Ainsworth?” kata pria tersebut sambil tetap melihat dokumen di tangannya. “I-iya Pak!” Justin menjadi gugup.  “Justin, ini letkol Dillion Ethan Middleford dia adalah pemimpin kita disini.” Kata Kevin. Justin menjadi semakin gugup dan tidak berani melihat kearah Dillion. Dillion meletakkan dokumen-dokumennya dan melipat tangannya di atas meja. “Justin, aku tahu semua hal ini asing bagimu. Begitu pula dengan diriku saat seusiamu. Kau pasti mempunyai kehidupan yang tidak bisa kau tinggalkan, aku tahu kau pasti tidak rela. Tapi disituasi seperti ini kami tidak punya pilihan selain merekrut pasukan dari kaum sipil. Maafkan kami karena telah memaksamu ikut dalam perang tapi kami semua disini adalah keluargamu dan kami pasti akan melindungi satu sama lain. Justin, aku bisa melihat kau adalah anak yang baik. Lakukanlah yang terbaik dan buat orang tua mu bangga.” Perkataan Dillion membuat Justin merasa lebih baik, ia tersenyum. “Siap Pak!”

“Baiklah, kurasa kami harus melanjutkan tur ini, aku pamit dulu.” Kata Kevin. Dillion mengangguk sambil mengayunkan tangannya mengisyarakatkan bahwa mereka boleh pergi. “Tidak biasanya ia banyak bicara.” Gumam Kevin. “Baiklah, aku akan mengambil berkas mu dan kita lihat kau ditempatkan dimana.” Kevin membawa Justin kearah seorang pria yang sibuk dengan komputernya. “Robert, bisakah kau memberitahuku dimana regu anggota baru kita ini ditempatkan?” Tanya Kevin. “Coba kulihat sebentar, berkasnya baru datang tadi. Ehm…. Justin Hazel Ainsworth ditempatkan di regu A1.” “Yap, sepertinya aku harus jujur padamu Justin.” Kata Kevin menghela nafas. “Ada apa?” tanya Justin. “Matilah kau.” Bisik Kevin. Justin menjadi binggung dan takut. “Kepala regumu adalah Henry. Ya seperti yang kau tahu itu akan sangat berat. Besok jam lima pagi ketika sirine berbunyi kau harus segera memakai seragammu dan mencari regumu. Kalian akan marathon mengelilingi batalyon sepuluh kali kemudian mandi, sarapan di kantin pukul delapan tepat dan harus segera berkumpul di lapangan untuk melakukan kegiatan halang rintang jam sepuluh pagi. Kemudian kalian makan siang pukul dua belas dan dilanjutkan pelatihan senjata dan strategi sampai pukul lima sore. Setelah itu mandi dan makan, dan pukul sembilan malam semua lampu ditutup dan kalian harus tidur. Kehidupan yang membosankan, tapi begitulah menjadi seorang prajurit.” Kata Kevin, ia mengambil seragam dari Robert dan menyerahkannya pada Justin. “Baiklah.” Jawab Justin. Ia tidak tahu apakah ia akan menyukai kegiatan barunya esok hari. 

“Sekarang sudah jam empat sore, sepertinya dia tidak sedang sibuk. Ayolah, aku akan mengajakmu bertemu seseorang yang paling ditakuti disini.” “Kalau dia ditakuti kenapa kita menemuinya?” Kevin menarik nafas panjang. “Dia adalah sniper terbaik disini, Dylan Salverino Skyfeller. Dia bisa menggunakan semua jenis senjata dan dia yang terbaik. Dia yang akan mengajarimu menggunakan senjata nantinya. Kuharap kau tidak macam-macam dengannya ada yang dibilang dia tidak punya rasa takut dan rasa kasihan. Kau bisa saja dibunuhnya jika dia kesal.” Mendengar perkataannya Justin menjadi ketakutan, wajahnya menjadi pucat. “Kurasa ia ada di ruangannya, ayolah dia ada di lantai dua.” Kata Kevin sambil menarik tangan Justin. Pandangan Justin menjadi datar dan ia terlalu takut untuk menemuinya. Namun kakinya hanya bisa terus melangkah mengikuti Kevin. Tiba-tiba seorang prajurit memanggil Kevin. “Kevin, divisi utama mencarimu. Sepertinya sangat penting!” Kata prajurit yang memanggilnya tadi. “Sepertinya aku tidak bisa menemanimu lagi, kau pergilah temui dia sendiri. Dia ada di ruangan itu, ketuk saja pintunya dan bilang kau anggota baru dan ingin belajar menggunakan senjata.” Kata Kevin sambil menunjuk ruangan yang dimaksud. Justin hanya terdiam melihat Kevin yang berlari meninggalkannya.

Justin terdiam sejenak, ia mengambil nafas panjang. Perlahan ia mulai melangkahkan kakinya keruangan yang dimaksud. Suasananya menjadi semakin sunyi. “Mungkin tidak ada orang.” Pikir Justin. Ia berniat untuk kembali tapi ia bahkan belum mengetuk pintunya bagaimana mungkin ia pergi begitu saja? Tanpa disadari tangannya mengetuk pintu tersebut. “Masuk saja.” Kata seseorang di dalam. Perlahan Justin membuka pintu tersebut sambil menunduk kebawah. Ia membayangkan seorang pria yang menyeramkan dengan tatapan yang tajam mengerikan. Perlahan ia mengadahkan kepalanya. Ternyata hanya seorang prajurit berdiri di dekat jendela. Tubuhnya begitu pendek mungkin hanya 5’4”, ia memandang keluar jendela tanpa memperdulikan Justin. “Mungkin ia juga mencari tuan Dylan.” Pikir Justin. “Ini hari pertamamu ya?” tanya prajurit tersebut. “Ya.” Jawab Justin singkat. “Berapa umurmu?” tanya prajurit tersebut. “Aku dua puluh satu tahun.” “Orang tua mu menyembunyikanmu dari wajib militer ya?” “Sebenarnya bukan begitu. Kami tinggal di sebuah bukit yang terpencil jadi sebenarnya kami tidak tahu apa-apa.” “Kalau begitu besok akan menjadi hari yang berat untukmu.” “Kalau begitu aku mohon bantuannya.” Justin berjalan kearah prajurit tersebut untuk menjabat tangannya. “Kenalkan aku Justin Hazel Ainsworth.” Prajurit tersebut membalikkan badannya menghadap Justin. “Aku Dylan Salverino Skyfeller.” Jantung Justin seakan ingin lepas ia tidak menyangka dihadapannya adalah orang yang paling ditakuti di batalyon dan ia memperlakukannya seakan orang tersebut seperti prajurit yang lain. Tangannya gemetar menyambut tangan Dylan yang dingin.

Dillion melewati lorong yang sepi sambil melipat dokumen yang sebelumnya dipegang dengan tangan kirinya. Tempat yang dia tuju tidak terlalu jauh dari ruangannya tapi dengan tekanan dari laporan yang baru dibacanya jarak tiga puluh meter terasa cukup jauh untuk ditempuh. Sampai di depan ruangan yang dituju, Dillion berdiri diam menarik napas dalam-dalam. Sebuah papan dengan tulisan “Ruang Kendali” tergantung di sisi atas tepat di antara kedua daun pintunya yang terbuat dari besi. Dillion mendorong daun pintu sebelah kiri dengan tangan kanan yang tidak memegang dokumen. Ruang kendali dengan luas kurang lebih 60 yard persegi diterangi enam bola lampu dalam susunan dua baris menyamping dengan tiga bola lampu setiap barisnya. Tanpa lampu pun ruangan itu sudah cukup terang pada siang hari dengan cahaya matahari yang masuk menembus jendela kaca anti peluru di sepanjang dinding ruangan. Kevin yang duduk di sisi kiri ruangan dengan sebuah headphone menutupi kedua telinganya menoleh ke arah Dillion dan kembali mengalihkan pandangannya kepada layar-layar dan keyboard di hadapannya. Layar-layar itu menampilkan berbagai gambar dan grafik yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh orang-orang sepertinya. “Sudah baca laporanku?” tanya Kevin sambil menarik turun headphone yang menutupi telinga kirinya. “Ya. Hancurkan jembatan penghubung sungai. Regu Peter sudah cukup.” Dillion kembali melihat dokumen yang telah dilipat sebelum meletakkannya di atas meja dengan gambar peta yang menutupi sebagian besar permukaan meja yang terbuat dari kayu. Diatas gambar peta terpasang sebuah monitor kecil dengan layar menghadap langit-langit. Monitor yang ditanam dalam meja itu dalam keadaan mati. Di setiap sisi meja tersusun  rapi dua buah kursi besi dengan total delapan kursi mengelilingi meja.  “Tapi pasukan tambahan harus melewati jembatan itu, Pak. Batalyon 2B sedang menyiapkan pasukan tambahan dan akan tiba dalam lima hari.” Kata Kevin. Dia memutar kursinya menghadap Dillion. “Hubungi Batalyon 2C dan minta mereka kirimkan pasukan tambahan. Kita tidak mungkin meminta bantuan Batalyon 2B.” Terang Dillion sambil mengamati peta di atas meja. “Ya, bukan hanya pasukan kita yang dapat melewati jembatan itu, pasukan musuh juga dapat melewatinya. Jika mereka menyerang dengan dua batalyon kau tahu apa yang mungkin terjadi, Kevin.” kata seorang gadis dengan pakaian tentara yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 5’6”, rambut hitam kecoklatanya diikat satu ke belakang dan mata coklat gelapnya menatap tajam Kevin. “Aku mengerti, Iorie. Aku akan menghubungi Batalyon 2B agar mereka tidak mengirim bantuan, benar ‘kan?!” Kevin mengutak-atik keyboardnya, melihat layar di sisi paling kanan dan kembali berkutat dengan keyboardnya sampai dia terhubung dengan Batalyon 2B.

♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦♦

Iorie meraih dokumen di atas meja tanpa bangkit dari kursinya sementara Kevin menghubungi Peter setelah menyelesaikan urusannya dengan Batalyon 2B. Dillion mengintip ke luar jendela. Pemandangan yang terlihat hampir hanya pepohonan dengan dataran tinggi yang mengelilinginya jika tidak ada air terjun dengan aliran sungai deras mengalir di sisi kiri markas. Markas musuh terlihat di kejauhan dekat kaki air terjun, sebuah batalyon dengan bangunan yang terlihat kokoh. Di seberang sungai, markas Batalyon 2E yang bersama dengan Batalyon 2A Dillion ditugaskan melindungi Kota Watervalley di sisi timur terlihat jelas. Sebagian dinding depan markas yang  hancur berwarna hitam menunjukkan bekas ledakan. Batalyon 2A sedang mengalami serangan saat Batalyon 2E diserbu. Walaupun berhasil bertahan dan menghalau musuh dari sisi kiri sungai dengan sisa pasukan Batalyon 2E yang berhasil mundur sampai jembatan penghubung, jumlah pasukan tersisa Batalyon 2A hanya sekitar 600 orang. Kedua batalyon pasukan musuh mundur setelah sebagian dari mereka terbunuh. Gencatan senjata sementara dilakukan walaupun dari segi jumlah pasukan musuh masih lebih unggul. Dillion mengalihkan pandangannya, memperhatikan kesibukan para bawahannya di areal lapangan markas. Melihat senyum kecil di wajah mereka. Setidaknya masih ada kesenangan yang dapat mereka rasakan dalam kondisi tidak menyenangkan ini. Iorie melihat senyum hangat di wajah Dillion dari pantulan kaca. “Serangan dapat dimulai kapan saja kau harus selalu siaga. Berdasarkan informasi dari Kevin pasukan tambahan akan tiba paling cepat dalam tiga hari” Iorie meletakkan dokumen di tangannya ke atas meja dan bangkit dari kursinya. Dillion membalikkan badannya mendengar ucapan Iorie. “Jika mereka menyerang sebelum itu kita dalam masalah besar.” Gadis itu menatap Dillion dengan wajah datar. “Aku tahu. Hanya karena aku memperhatikan hal lain bukan berarti aku tidak fokus.” Dillion tersenyum kecil, “Jika kalian membutuhkanku aku ada di ruanganku.” Dillion melangkah keluar meninggalkan Ruang Kendali. “Seorang pria bertubuh kurus, sepertinya anggota baru dari regu A5, beberapa hari ini aku melihatnya berkeliran di sekitar ruang kendali dan ruanganku. Sebaiknya peraturan untuk anak baru diperketat, Midlleford.” Dillion mengangguk pelan sambil tersenyum. Iorie mengikuti langkah pria itu, menatapnya sampai dia masuk ke ruangannya dan berjalan ke arah yang berlawan dengan pria itu menuju ruangannya sendiri.

Bersamaan dengan suara ledakan keras telepon di meja Dillion berdering. Dengan cepat dia membalikkan kursinya dan mengangkat telepon. “Ya, aku mendengar suaranya. Kerja bagus.” Jembatan penghubung telah dihancurkan. Musuh tidak dapat menyerang dari arah sana. Serangan hanya akan dari satu arah, batalyon di dekat kaki air terjun. Saat pasukan tambahan mereka tiba mungkin pasukan tambahan musuh juga tiba t.api musuh kehilangan ahli strategi mereka dalam serangan sebelumnya, berkat sniper-sniper yang ditempatkan dekat akses logistik musuh dan  seorang penyusup yang akhirnya gagal kembali ke markas. Letnan Kolonel memang dapat menyusun strategi penyerangan tapi tidak sebaik jika didampingi ahli strategi yang mengkhususkan diri di bidangnya. Dillion tetap memikirkan strategi terbaik yang dapat disusunnya walaupun dia memiliki Iorie bersamanya. Karena hanya satu batalyon yang tersisa untuk melindungi Kota Watervalley di sisi timur, dia berusaha melakukan hal lain yang dapat dilakukannya selain memimpin pasukan dan menggunakan senjata. Jika kota terbesar keempat itu berhasil diambil alih musuh keadaan pemerintahan dan perekonomian akan semakin tidak stabil. Walaupun Batalyon 2B dan Batalyon 1C dapat mengurus batalyon musuh yang menghancurkan Batalyon 2E, juga jembatan penghubung sebagai akses utama telah dihancurkan, dia tidak dapat meremehkan Batalyon Letkol Ronalson, batalyon di dekat kaki air terjun. Dia tidak tahu pasti seberapa banyak pasukan bantuan yang bisa didapatkan Ronalson, secepat apa pasokan logistiknya sampai atau sehebat apa pasukan khusus yang mungkin masih dimilikinya. Dillion mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang terpikirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar