Will be updated soon!!!

Senin, 07 November 2016

Chapter 2



Justin gemetaran, ia tidak menyangka bahwa orang yang paling ditakuti di batalyon adalah seseorang yang masih muda dan secara fisik tidak seperti yang ia bayangkan. Tubuhnya yang pendek dan posturnya yang biasa saja sama sekali tidak memberikan kesan bahwa pria yang menjabat tangannya sekarang adalah Dylan. Mereka sama-sama terdiam, kemudian melepaskan tangannya. Pandangan Justin sama sekali tidak lepas dari Dylan. Dylan melangkah ke sebuah kabinet dan membukanya. Disana terdapat banyak sekali senjata dari berbagai jenis. “Kau mungkin sudah mengetahui apa yang akan kulakukan terhadapmu.” Kata Dylan sambil mengambil senjata favoritnya sebuah sniper buatan Pindad tipe spr-2.  Seketika itu Justin berlari keluar secepat angin tanpa mengatakan apapun. Dylan mengeritkan dahi dan meletakkan kembali senjatanya di kabinet.

Justin terus berlari tanpa tahu harus kemana, ia ketakutan. “Apa yang kulakukan? Kenapa aku lari? Dia pasti sangat marah karena aku tidak sopan dan akan membunuhku!” pikir Justin. Ia terus berlari tanpa mempedulikan orang-orang yang keheranan melihatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang memanggilnya. “Hei Justin! Kenapa kau berlari?” Justin menoleh kebelakang dan ternyata Albert. “Ada apa Justin?” Justin hanya terdiam dan menunduk. “Kau tidak ingin membicarakannya?” Justin hanya menggeleng pelan. “Baiklah tidak apa-apa. Berhubung hari sudah sore sudah saatnya kita mandi. Ayolah kau sudah dapat seragammu kan?” Ajak Albert. Justin mengangguk dan mengikuti Albert ke tempat mandi. “Apakah kau sudah punya loker?” tanya Albert. Justin menggeleng. “Baiklah, tunggu disini aku akan mengurusnya.” “Terima kasih Pak.” Jawab Justin.

Tempat mandinya sangat luas dengan satu bak air yang sangat besar, ada juga shower yang berjajar rapi di tepi-tepi dinding dan tempat mandi tersebut hanya beratapkan langit. Justin menatap ke langit senja dan menarik nafas dalam. Orang-orang yang ditemuinya hari ini mulai dari Albert dan Geoff yang tampak sangat baik padanya, kemudian seorang dokter bernama Randolph yang senang tertawa. Kemudian ada Kevin , seorang anak yang banyak bicara dan percaya diri. Seorang kepala regu yang kasar bernama Henry, seorang letkol yang sepertinya sangat perhatian pada para anggotanya dan terakhir seseorang yang bernama Dylan yang amat ditakuti di batalyon. “Ternyata aku sudah mengenal tujuh orang hari ini.” Gumam Justin. Tidak lama kemudian Albert kembali dengan membawa sebuah kunci di tangannya. “Ini kunci lokermu dan kunci kamarmu. Tadi aku bertemu Kevin, dia bilang dia lupa memberikannya padamu karena tadi ada urusan penting.” Kata Albert. “Terima kasih Pak.” “Baiklah, ayo segera mandi dan setelah itu makan.” Justin mengangguk dan tersenyum.

Setelah mandi Justin dan Albert pergi ke kantin untuk makan malam. “Sepertinya kita datang terlalu awal. Baguslah kita tidak perlu antri hahaha.” Kata Albert. Mereka pun mengambil makanan dan duduk di sebuah meja. “Ayo segera dimakan.” Kata Albert. Justin hanya mengangguk dan makan tanpa suara. “Ada yang menganggumu?” tanya Albert memecah keheningan. Justin menatap Albert sejenak dan meletakkan garpunya. “Tentang seseorang yang paling ditakuti disini… Dylan.” “Oh, anak itu ya? Kenapa?” “Apakah benar seperti yang dikatakan Kevin kalau ia tidak berperasaan dan dapat membunuh siapa saja tanpa rasa bersalah?”. Albert meminum seteguk air dan menjawab pertanyaan Justin. “Poin pertama bahwa ia orang yang paling ditakuti disini menurutku lebih kepada orang yang paling disegani setelah Tn. Dillion. Aku ingat saat ia pertama kali datang kesini, ia hanyalah seorang anak belia yang bertubuh kecil dan takut dengan senjata. Tapi kemudian ia berubah dan menjadi orang yang paling berbakat disini dan menjadi salah satu anggota pasukan khusus Tn. Dillion. Poin kedua bahwa ia tidak memiliki perasaan dan bisa membunuh siapa saja tanpa rasa bersalah juga sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Ia adalah seorang sniper, ia bertugas membunuh musuh yang penting untuk menurunkan mental pasukan musuh sehingga tugasnya amat penting dan tidak boleh gagal. Seorang sniper harus bisa mengontrol diri dan tidak terbawa oleh perasaan. Namun apakah dia benar-benar tidak punya perasaan atau tidak aku tidak bisa menjawabnya.” “Jadi kalau aku berbuat kesalahan padanya apa ia akan membunuhku?” tanya Justin. “Tergantung apa kesalahanmu. Setidaknya ada orang yang nyaris terbunuh. Hahahaha… Tenang saja bagaimanapun juga ia adalah prajurit yang bertempur bersama kita, kita semua adalah keluarga dan ia tidak mungkin membunuh rekannya sendiri.”. Justin tersenyum dan melanjutkan makan malamnya dengan perasaan yang sedikit lebih baik.
Justin telah menghabiskan makanannya begitu pula dengan Albert. “Sepertinya terlalu awal untuk tidur. Aku ingin mencari Geoff dan teman-temanku yang lain. Apakah kau mau ikut? Itu juga jika kau tidak keberatan bergabung dengan orang tua seperti kami.” Kata Albert sambil tertawa kecil. “Tidak, terima kasih. Ku rasa aku ingin kembali ke kamar ku saja.” Jawab Justin. 

Justin kembali ke kamarnya, di perjalanan dia berpapasan dengan beberapa prajurit lain dan saling menyapa. Saat sampai di depan pintu kamarnya, Justin melihat barang-barangnya tergeletak di luar. Justin menjadi kebingungan, ia tidak mengerti mengapa ada seseorang yang meletakkan barang-barangnya di luar. Ia kemudian mengambil barang-barangnya dan membuka pintu kamarnya dan ternyata tidak ada orang di dalam. Justin kemudian menyusun barang-barangnya di kamar tersebut saat tengah sibuk merapikan pakaiannya ia mendengar sesuatu. Suara tersebut berasal dari sebuah pintu di dalam kamarnya, ia tidak menyadari sebelumnya ternyata didalam kamarnya ada sebuah ruangan. Justin pun penasaran dengan suara yang barusan ia dengar dan menempelkan telinganya di dekat pintu tersebut dengan hati-hati. Ia tidak mendengar apapun, kemudian tiba-tiba pintu tersebut terbuka Justin segera mundur karena terkejut. Ternyata ada seseorang didalam ruangan tersebut. 
“Siapa kau? Oh ya, aku ingat kau anak yang tadi. Kenapa kau ada disini?” Justin tidak dapat berkata-kata. Ternyata orang tersebut adalah Dylan, ia terlihat mengenakan pakaian tidurnya. Dylan melirik kearah tempat tidur dimana barang-barang Justin tergeletak. “Oh, itu barang-barang mu?” tanya Dylan. Justin mengangguk pelan. “Ah, maafkan aku. Tadi aku kira ada seseorang yang salah meletakkan barang di kamarku, jadi kau tinggal disini sekarang?” Justin hanya kembali mengangguk. Dylan hanya mengganguk pelan dan kemudian melihat keluar jendela. Justin merasa sanggat canggung, ia melanjutkan menyusun barangnya namun pandangannya tidak lepas dari Dylan. Ia takut kalau tiba-tiba Dylan melakukan sesuatu. “Aku tahu kau memperhatikanku. Ada yang ingin kau katakan?” tanya Dylan tiba-tiba. Justin terkejut dan segera memalingkan wajahnya. “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?” tanya Justin. “Instingku sudah terbiasa, dalam perang posisi seorang sniper tidak boleh sampai terlihat oleh musuh oleh karena itu instingku terlatih untuk mengetahui apakah ada seseorang yang telah mengetahui posisi ku atau tidak.”
“Bagaimana kau bisa melakukan itu?”. Dylan berbalik menatap Justin. “Maksudmu?” tanya Dylan. “Menjadi seorang prajurit yang hebat seperti itu?”. Dylan mengambil nafas dalam, “Egosentris. Mungkin menurut orang itu adalah kata yang negatif tapi dunia membutuhkan orang seperti itu.”Justin hanya mengangguk pelan mendengar jawaban Dylan. “Ngomong-ngomong, kenapa tadi kau berlari?” Justin tersentak mendengar ucapan Dylan. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud tidak sopan tadi. Aku memperlakukanmu seakan kita ini prajurit yang setara.” Kata Justin sambil menunduk ketakutan. “Kalau begitu kau harus bisa setara denganku. Karena aku tidak mungkin bisa dibandingkan dengan dirimu yang sekarang.” Kata Dylan serius. Justin menjadi semakin canggung dan takut. “Besok, akulah yang akan melatihmu saat pelatihan senjata dan juga bela diri, jadi persiapkan dirimu.” Justin menatap kearah Dylan, sepertinya ia tidak seburuk yang digosipkan. Menurutnya Dylan memang suka berkata sinis dan bersikap dingin namun sepertinya Dylan merupakan orang yang baik.

“Mengenai ruangan tadi, itu ruangan apa?” tanya Justin tiba-tiba. Dylan memandang sinis dan tajam kearah Justin. Kemudian ia berjalan kearah Justin dan mendekatkan wajahnya. “Bukan urusanmu! Jangan pernah masuk kesana tanpa seizinku!” kata Dylan dengan nada mengancam. Justin mengangguk pelan, ternyata Dylan bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat mengintimidasi. “Maafkan aku.” Kata Justin pelan. “Masih terlalu awal untuk tidur, apa kau mau berjalan-jalan sebentar?” tanya Dylan. Tiba-tiba saja sikap Dylan kembali seperti semula dan membuat Justin sedikit binggung, kemudian ia mengangguk setuju.
Mereka berjalan menuju lapangan yang kosong, sebenarnya sekarang adalah waktu bebas namun karena kelelahan banyak prajurit yang hanya berada di dalam kamar mereka dan bercengkrama dengan teman-temannya. “Hei, namamu Justin kan? Apakah kau mau melihat menara pengawas? Disanalah tempat sniper kami berjaga.” Tanya Dylan. “Ya. Aku mau!” jawab Justin senang. Mereka pun pergi ke salah satu menara pengawas. Menara tersebut cukup tinggi mungkin sekitar Sembilan puluh kaki dan terbuat dari batu yang kokoh. Tangganya terbuat dari besi dengan jarak antar anak tangga yang cukup tinggi. Justin merasa sedikit takut ketika sudah sampai di pertengahan anak tangga. Dikarenakan anak tangga yang berputar-putar ia menjadi sedikit pusing dan takut kalau-kalau ia kehilangan keseimbangan dan jatuh kebawah, namun Dylan tampak baik-baik saja. 

“Merasa pusing?” tanya Dylan. Justin mengganguk pelan sambil memegangi kepalanya. “Jangan lihat kebawah, fokus saja pada anak tangga yang diatas, dan juga tegakkan kepalamu.” Kata Dylan sambil terus melangkah keatas. Justin pun mengikuti sarannya dan pusingnya telah sedikit berkurang. Akhirnya mereka pun sampai ke atas menara, Justin melihat seorang wanita sedang mengawasi keadaan dengan teropongnya. Dylan tiba-tiba menjadi diam dan tidak bergerak, matanya terus memandangi wanita tersebut dan tampaknya wanita tersebut terlalu fokus sehingga ia tidak menyadari keberadaan mereka. “Ehem.” Justin mencoba menarik perhatian wanita tersebut. Wanita tersebut segera melihat kearah Justin dan mengeritkan dahinya. “Siapa kau?” tanya Wanita tersebut. Wanita tersebut sepertinya seumuran dengan Justin, wajahnya cantik dan sama sekali tidak terkesan seperti seorang prajurit wanita. Rambutnya panjang dan bergelombang, dibawah sinar bulan Justin dapat mengetahui bahwa ia memiliki rambut berwana kayu manis yang menawan. Matanya berwana kehijauan dengan bibir yang kecil dan berwarna merah muda cerah. Secara tidak sadar Justin terus memandangi wanita tersebut tanpa menyadari kalau wanita tersebut memandangnya dengan heran. “Dia Justin, dia baru bergabung dengan kita hari ini.” Jawab Dylan. “Oh, senang bertemu dengan mu Justin! Namaku Mia Aloysius dan seperti namaku, aku terkenal dalam perang hahaha…” Kata wanita bernama Mia tersebut.
Justin segera tersadar dan segera menjabat tangan Mia. “Kau sangat cantik, a-aku Justin Hazel Ainsworth.” Kata Justin gugup, Justin menjadi malu atas perkataannya, jelas saja ia terpesona karena ia jarang melihat wanita seusianya dan secantik Mia. Mia tertawa mendengar perkataan Justin. “Biasanya aku akan langsung memukul orang yang berbicara seperti itu denganku, tapi sepertinya kau itu sangat polos. Kau sangat lucu hahaha..” Kata Mia. Justin menjadi semakin malu dan mukanya mejadi merah seperti tomat. Mia pun semakin tidak dapat mengendalikan tawanya. “Ada perlu apa kalian kemari?” tanya Mia. “Kami hanya berjalan-jalan.” Jawab Dylan singkat. Mia mengangguk pelan. “Kalau begitu apakah kau mau membantuku mengawasi keadaan Justin?” tanya Mia. Justin melihat kearah Dylan, dan ia hanya mengangguk pelan mengisyaratkan Justin untuk menerima ajakan Mia. “Baiklah.” Jawab Justin senang. “Kalau begitu aku kembali.” Kata Dylan dan seketika ia sudah menuruni tangga. Justin segera menyusul Dylan. “Terimakasih untuk hari ini.” Kata Justin. Dylan tidak berbalik dan hanya merespon dengan mengangkat tangan kanannya.
Justin melihat ekspresi Dylan sejak ia bertemu dengan Mia barusan, Dylan memang mempunyai wajah yang suram dan serius namun sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan Mia. “Apakah dia menyukai Mia?” pikir Justin. Justin pun kembali kepada Mia dan bertanya apa yang bisa ia lakukan. Mia memberikan teropongnya dan menjelaskan topografi disekitar batalyon. Batalyon mereka terletak di dataran yang cukup rata dan dikelilingi oleh hutan yang cukup lebat, disebelah timur terdapat sebuah sungai yang cukup besar, namun mereka tidak pernah menggunakan air dari sungai tersebut ataupun menangkap ikan disana. Hal itu dikarenakan batalyon musuh juga terletak disekitar sungai tersebut dan air sungai tersebut mengalir dari tempat musuh dikarenakan mereka berada di dataran yang lebih tinggi. Mereka takut apabila musuh meracuni sungai tersebut sehingga mereka membuat beberapa sumur yang letaknya cukup jauh dari sungai tersebut untuk kebutuhan air mereka. Justin  juga mengetahui bahwa ternyata batalyon musuh terletak diantara tebing sehingga cukup sulit melakukan penyergapan ke daerah musuh sehingga dapat disimpulkan bahwa secara topografi batalyon musuh lebih unggul.

Setelah sekitar dua jam belajar dan bercengkrama bersama Mia, Justin memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Lapangan sudah mulai sepi dan sudah jarang terlihat prajurit-prajurit yang tadinya bercengkrama disekitar mess. “Hei kau! Kenapa masih disini?” tanya seseorang tiba-tiba. Justin menjadi terkejut karena bentakan tersebut. “Ini sudah jam tidur kenapa kau masih berkeliaran?” tanya seorang prajurit yang terlihat lebih tua dari Justin, umurnya sekitar tiga puluh tahunan dan memiliki wajah yang berwibawa ia sedang melakukan patroli malam. “Maafkan aku Pak, aku tadi sedang bersama seseorang.” Kata Justin gugup. “Siapa?” tanya prajurit tersebut. “Mia Aloysius, kami tadi berada di menara pengawas. Dia menjelaskan padaku beberapa hal mengenai topografi markas ini dan markas musuh.” Jawab Justin sambil menunduk. “Apa itu benar? Kau tahu meskipun begitu bagaimana aku bisa membiarkan anak laki-laki bergaul dengan anak perempuan di malam hari seperti ini?” tanya prajurit tersebut. Justin menjadi semakin gugup, ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. “Pak Nicholas, aku yang menyuruhnya untuk menemui Mia. Ini adalah hari pertamanya jadi aku pikir ia perlu belajar mengenai topografi di daerah ini.” Kata Dylan yang tiba-tiba muncul. “Ah, kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau Tn. Dylan yang menyuruhmu? Kalau begitu aku akan kembali bertugas, sampai jumpa.” Kata petugas Nicholas tersebut sambil menepuk pundak Justin dan pergi. Justin melihat Dylan, ia sangat kagum dengannya. Walaupun Dylan mempunyai badan yang kecil namun ia mempunyai wibawa yang besar, Justin dapat melihat seberapa kuatnya kepribadian Dylan melalui sorotan matanya. “Ayo kita kembali ke kamar, besok kau harus berlatih keras.” Ajak Dylan. “Ah iya, terima kasih.” Kata Justin sambil mengikuti Dylan. 

Justin tidur dengan nyenyak hari itu, biasanya ia tidak bisa tidur nyenyak tanpa orang tuanya namun sepertinya hal itu sudah berubah. Ia memikirkan orang tuanya setiap saat, namun ia juga bersyukur bahwa sekarang ia telah dewasa dan dapat melakukan sesuatu untuk membuat orang tuanya bangga. Ia akan ikut berperang dan akan pulang dengan dengan kemenangan.
“Justin, bangunlah!” bisik seseorang sambil mengoncangkan tubuhnya pelan. Perlahan Justin membuka matanya, ternyata Dylan yang membangunkannya. Justin segera beranjak dari tempat tidur dengan gugup. “Maafkan aku, aku ketiduran.” Kata Justin sambil menunduk malu. “Tidak apa-apa, aku tahu hari ini hari pertamamu jadi aku membangunkanmu lebih cepat supaya kau tidak terkena masalah. Sekarang pakailah seragam mu dan ikut aku kelapangan.” Kata Dylan. Justin mengangguk cepat dan segera memakai seragamnya. Merekapun berjalan menuju lapangan, hari masih sangat pagi dan masih gelap. Belum ada seorang pun yang bangun dan beraktivitas kecuali mereka berdua. “Sebenarnya ini masih jam empat pagi. Maaf jika membangunkanmu terlalu awal, aku terbiasa bangun jam empat pagi aku takut jika aku tidak sempat membangunkanmu.” Kata Dylan. “Ah, tidak apa-apa. Aku juga terbiasa bangun pagi untuk mengurus ternak.” Kata Justin. “Ternak?” tanya Dylan. “Yah, orang tuaku mempunyai peternakan di bukit. Aku sudah terbiasa bangun pagi untuk mengurus ternak, mengambil telur, memerah susu dan sebagainya. Tapi mungkin karena tidak dipeternakan aku jadi lupa untuk bangun pagi. Biasanya Lucy membangunkan kami pagi-pagi tapi dia tidak disini.” “Kau punya saudara perempuan?” “Ah bukan, Lucy adalah ayam peliharaan kami. Dia betina tapi dia bisa berkokok seperti ayam jantan.” “Kau memberi ayam mu nama?” “Ya, kata ayah kita harus dekat dengan ternak karena merekalah yang memberikan kita susu untuk diminum, telur untuk dimakan, bulu untuk dijual, dan kadang-kadang daging untuk dimakan walaupun itu cukup berat untuk dilakukan.” Dylan tertawa mendengar perkataan Justin. “Mungkin kau harus membawa Lucy kemari agar kita semua bisa bangun lebih pagi.” Kata Dylan. “Benarkah? Apa boleh?” Tanya Justin senang. “Tidak! Kecuali kau mau dia menjadi sup malam ini.” Kata Dylan. Justin terkejut dengan perkataan Dylan mulutnya mengangga.
“Jadi kau tinggal dengan orang tuamu? Apakah kau punya saudara?” tanya Dylan. “Ya, kami hanya tinggal bertiga. Aku adalah anak tunggal, ayah dan ibuku sudah tua jadi aku tidak mungkin lagi punya saudara.” “Jadi apa itu sebabnya kau terlambat ikut wajib militer?” “Bukan begitu, sesungguhnya kami tidak tahu kalau sedang terjadi perang.” “Begitu ya… Kalau begitu kau sekarang tahu bahwa dunia ini tidak seindah yang kau bayangkan. Kau mungkin masih bisa bersama orang tuamu kemarin, masih bisa makan bersama di meja, dan bebicara dengan mereka. Namun, banyak dari kita disini adalah yatim piatu, orang tua kami meninggal dalam perang, saudara kami meninggal dalam perang, dan kami juga suatu saat mungkin akan mati di pertempuran.” “Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Justin menjadi merasa bersalah kepada Dylan, ia tidak menyangka bahwa orang-orang disini mengalami masa-masa yang sulit. “Tapi aku tidak akan mati di medan perang, aku akan pulang dan kembali bersama orang tuaku, menjaga mereka di hari tua mereka! Itu adalah janjiku, mungkin itu terdengar egois tapi seperti yang kau katakan dunia  membutuhkan orang seperti itu kan?” Dylan tertawa mendengar perkataan Justin. “Ya, kau benar. Kau cepat belajar Justin.”
Tidak lama kemudian sirene berbunyi dan para prajurit berlarian kelapangan. “Sudah saatnya kau pergi. Barisan Henry ada dibagian paling kanan. Barislah sesuai tinggi badanmu, beri hormat kepadanya jika berpapasan. Dia akan sangat menghargai itu.” Kata Dylan. “Terimakasih.” Kata Justin, kemudian ia segera berlari mencari regunya.

Dylan melihat Justin berlari kearah kerumunan dan menoleh ke kanan dan ke kiri, Dylan tersenyum melihat kepolosan Justin. Ia melangkah ke kantornya, beberapa prajurit menunduk sebagai tanda memberi hormat. Dylan terbiasa bangun pagi-pagi walaupun sebenarnya ia tidak harus mengikuti jadwal harian prajurit seperti yang lain. Dylan telah menjadi pasukan khusus dibawah Dillion dan juga menjadi salah satu tangan kanannya. Dylan sering memberi Dillion masukan mengenai kondisi lapangan dan kelemahan musuh. Selama beberapa tahun terakhir Dylan telah banyak belajar dari Iorie. Dylan membuat banyak prestasi sehingga ia diangkat menjadi pasukan khusus. Dylan tidak mempunyai kekuatan seperti Henry namun ia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan juga insting yang sangat peka. Ia juga pernah menembak sasaran diluar jarak akurasi senapan dan melakukannya dengan sempurna.

Dylan membuka lemari senjatanya dan mengecek seluruh senjatanya apakah dalam kondisi yang baik. Beberapa saat kemudian seseorang mengetuk pintunya. “Masuklah.” Kata Dylan. “Kau ingin bicara padaku?” “Ah, ya Kevin. Aku ingin meminta bantuanmu.” “Apa yang bisa kubantu?” “Aku ingin bertanya apakah kau mempunyai keahlian dalam merakit sesuatu?” Kevin mengeritkan dahi. “Ya, aku bisa merakit senjata, semua orang disini juga bisa. Aku juga bisa merakit radio komunikasi dan hanya aku yang bisa.” “Aku ingin tahu apakah kau bisa membuat sesuatu seperti ini.” Kata Dylan sambil menyerahkan secarik kertas. “Itu adalah konsepnya. Bisakah kau membuatkannya untukku?” tanya Dylan. Kevin memperhatikannya dengan seksama. “Baiklah aku mengerti.” “Terimakasih.” Kevin melangkah keluar dengan canggung, dan kemudian berbalik menatap Dylan. “Aku ingin bertanya, apa yang akan kau lakukan pada Justin? Maksudku, aku sama sekali tidak bermaksud mengusik ketenanganmu dengan menempatkannya di kamarmu.” Kata Kevin. “Memangnya apa yang mungkin akan kulakukan?” tanya Dylan kembali. Kevin menggelengkan kepalanya dan pergi.

Tiba-tiba telepon Dylan berbunyi. “Halo, Ah Tn. Dillion ada apa?... Baiklah aku akan kesana.” Kata Dylan sambil menutup teleponnya. Dylan segera pergi ke ruangan Dillion, biasanya Dillion memanggilnya apabila ada sesuatu yang penting namun tidak ada hal yang penting belakangan ini, hal ini membuat Dylan penasaran. Sesampainya di depan ruangan Dillion, Dylan pun mengetuk pintu. “Masuklah.” Jawab Dillion dari dalam. “Adakah sesuatu yang penting untuk dibicarakan?” tanya Dylan. “Kemarilah.” Kata Dillion sambil menunjuk kearah jendela dibelakang kursinya. Dylan melangkah kearah jendela tersebut untuk melihat apa yang dimaksud oleh Dillion. “Anak baru itu. Sepertinya dia semangat sekali.” Kata Dillion. “Justin?” “Kau sudah tahu namanya?” “Ya, kami sekamar.” “Kurasa kalian bisa menjadi teman akrab.” “Tidak, ini adalah perang bukan tempat mencari teman. Seseorang bisa saja mati kapan saja dan perasaan terhadap teman, penyesalan terhadap teman, hanya akan membuat kita kehilangan konsentrasi dan dapat membahayakan misi dan justru dapat membahayakan lebih banyak prajurit.” Dillion tertawa mendengar perkataan Dylan. “Kau begitu keras Dylan. Tapi apa kau yakin? Aku melihatmu tertawa saat bersamanya tadi. Aku tidak pernah melihatmu tertawa sebelumnya.” Dylan menjadi terkejut dan gugup. “Tadi dia menceritakan lelucon tentang ayam betinanya yang bernama Lucy, oleh sebab itu aku tertawa.” Kata Dylan. “Benarkah? Hahahaha, kau tidak pernah tertawa sebelumnya saat bersama Kevin? Padahal ia sangat lucu.” Balas Dillion. Dylan hanya terdiam, Dillion melihat Dylan dengan pandangan simpatik. “Kau tidak harus menutup dirimu seperti ini. Kau tidak perlu sampai membuang perasaanmu.” Kata Dillion. “Apakah anda berpikir kalau diriku yang sekarang adalah sebuah kesalahan?” “Bukan itu maksudku Dylan, aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri. Hanya saja aku tidak ingin kau sampai kehilangan kehidupanmu.” Kata Dillion, ia merasa sedikit bersalah. “Kehidupan? Kehidupan seperti apa yang anda harapkan disaat perang bergejolak seperti ini? Jika tidak ada yang perlu dikatakan aku pergi dulu.” Kata Dylan sambil melangkah pergi. Dillion menarik nafas dalam-dalam, Ia sangat senang ketika melihat Dylan tertawa saat bersama Justin namun sepertinya akan sulit untuk membuka hatinya untuk seorang teman. Dylan yang sekarang adalah seorang yang dingin seperti dinginnya senapan, juga tajam sepert tajamnya belati, seperti sebuah senjata Dylan tidak memiliki hati dan hanya merupakan sebuah senjata yang digunakan dalam perang.

Sinar matahari menembus jendela di sisi kiri meja ruangan Iorie. Tumpukan kertas laporan tersusun rapi di sudut kiri atas meja Iorie. Laporan yang baru diantarkan seorang prajurit masih tersusun rapi di tengah meja. Iorie yang duduk membelakangi meja memijat pelan bahu kirinya sambil memutar kursinya. Kembali melakukan rutinitasnya, Iorie meraih laporan di depannya. “Laporan misi penghancuran jembatan dan data pasukan tambahan dari Batalyon 2B.” Gumam Iorie. Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Iorie dari laporan yang baru dibaca beberapa lembar. Tidak banyak orang yang datang ke ruangan gadis itu tapi siapapun yang datang mencarinya selalu menyebutkan nama dan regu mereka selain Dillion dan anggota pasukan khusus yang cukup menyebutkan nama mereka. Tidak mendengar suara lain selain ketukan pintu, Iorie kembali membaca laporan di tangan kanannya. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Iorie meletakkan kertas-kertas di tangannya dan bangkit menuju pintu di sisi kanan meja. Dengan sedikit malas, Iorie membuka pintu. “Apakah kau sudah memutuskan, Nona Greenshard?” tanya prajurit bertubuh kurus yang berdiri di hadapan Iorie. Wajahnya tidak terlihat jelas karena bayangan topi yang dipakainya. Iorie menatap serius si pria kurus.

“Jangan bercanda. Aku bisa minta Middleford untuk menahanmu kapanpun jika aku mau.” Iorie manatap tajam pria kurus yang duduk di hadapannya. Pria itu tertawa mendengar ucapan Iorie. “Keberadaanku di sini adalah bukti bahwa kami serius, Nona Greenshard.” Kata pria itu sambil tersenyum. “Mayor Jenderal mempersiapkan saudarimu untuk perang ini. Aku yakin kau juga menyadarinya. Kesepakatan ini memberikan keuntungan untuk kedua pihak. Kau tidak perlu ragu, Nona.” Iorie masih menatap pria itu dengan ekspresi yang sama. “Jika kau masih tidak percaya.” Pria itu mengeluarkan tanda pengenalnya dari saku celana dan memperlihatkannya pada Iorie. “Kalian pintar tapi juga bodoh. Kau tahu apa yang akan terjadi jika tanda pengenal itu ditemukan, Carlos?” tanya Iorie sedikit heran. “Watervalley adalah prioritas utama. Aku sudah siap untuk mati.” Iorie mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Carlos ikut mengalihkan pandangan ke luar jendela sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada Iorie. “Bagaimana aku tahu ini bukan jebakan? Dan bagaimana Ronalson tahu jika aku benar-benar menerima tawarannya?” tanya Iorie. Carlos meletakkan secarik kertas di depan Iorie. “Kami, pasukan khusus Tn. Ronalson, siap gugur dalam misi. Kau adalah seorang strategist, aku yakin kau mengerti apa yang akan kami lakukan jika kau melakukan hal yang aneh dan sebagai seorang strategist, kau bisa menetapkan jaminanmu sendiri. Tapi jika kau ingin tahu, salah satu dari orang penting kami akan berada di sana. Apakah itu cukup sebagai jaminan kami, Nona Greenshard?” suara Carlos hampir terdengar seperti bisikan. Iorie membaca catatan pada kertas yang diberikan Carlos. “Kau masih punya waktu untuk berpikir, Nona.” Carlos berjalan menuju pintu sambil melirik ke arah Iorie. Gadis itu duduk diam di tempatnya. Carlos membetulkan topinya sambil tersenyum.

Dillion tersenyum kecut saat matanya dan mata Carlos bertemu. Carlos berusaha mengeluarkan pistol dari saku rahasia di sisi kanan celananya. Seorang prajurit menangkap tangan kanan Carlos, membalikkan tubuhnya dan mendesakknya ke dinding di sisi kanan pintu. Carlos berusaha melepaskan diri namun pegangan prajurit yang menangkapnya terlalu kuat. Dillion melirik ke arah Iorie yang berdiri di sampingnya. Dua orang prajurit lain yang keluar dari ruang kendali memasang borgol pada pergelangan tangan Carlos dan membawanya pergi. “Aku harap dia tidak mempengaruhimu, Iorie.” Kata prajurit bertubuh kekar yang menangkap Carlos. Pakaiannya terlihat sedikit berbeda dengan sebuah lencana Letnan di bagian kanan dadanya. “Kau tahu aku tidak mudah dipengaruhi, James.” James tertawa, menepuk bahu kiri Iorie. “Dia anggota baru dari regu A5 yang kau katakan itu? Apa yang penyusup itu katakan padamu?” tanya Dillion. “Ronalson ingin aku bergabung dengannya.” Jawab Iorie sambil memijat dahinya. “Apakah dia membocorkan informasi tentang Ronalson?” tanya Dillion setelah diam beberapa saat. Iorie menggeleng pelan. “Mereka akan menyusup dan membawaku pergi jika aku setuju. Jika kontak darinya terputus artinya aku menolak. Jika kau mendengar apa yang kami bicarakan, tidak ada lagi yang perlu kukatakan.” Kata Iorie. Dillion mengangguk pelan dan berjalan ke ruang kendali. “Dua jam lagi, temui aku di ruanganku, Iorie.”
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Iorie dengan wajah datar. Sesekali ia menoleh memperhatikan detil ruangan Dillion. Gadis itu hampir tidak pernah memperhatikan detil ruangan pimpinannya. Peta negara dan foto para pemimpin negara tergantung di sisi kiri ruangan. Rak-rak dokumen ditempatkan pada sisi kanan ruangan. Perhatian Iorie tertuju pada riffle yang ditempatkan dalam lemari kaca tepat di samping meja Dillion. Terlalu realistis untuk sebuah pajangan. “Aku ingin memastikan kau membuat pilihan yang tepat.” Dillion menarik nafas panjang. Iorie memalingkan muka dan mengeryitkan dahi. “Aku melindungi apa yang harus kulindungi dan aku melakukan semua yang dapat kulakukan untuk itu.” Iorie merapatkan kursinya ke meja Dillion dan memindahkan tumpuan tangan kanannya ke meja pria itu. “Seseorang yang harus kulindungi ada di Watervalley. Aku juga akan melakukan apapun untuk melindunginya.” Dillion menatap tajam ke arah Iorie. Gadis itu hanya tersenyum. “Kau tidak percaya padaku.” Ia menundukkan kepala namun senyum di wajahnya masih terlihat jelas. Perlahan ia menarik diri menjauh dari meja dan memundurkan kursinya. Dillion mendengus pelan. “Seperti yang kau tahu, kita berada dalam keadaan yang tidak begitu baik. Ronalson berhasil mengirim seorang penyusup ke sini dan sampai sekarang dia tidak bersedia mengatakan apapun.” Iorie menatap kosong ke arah meja Dillion. “Sudah seharusnya aku percaya padamu. Aku juga tidak suka ini tapi aku perlu memastikan kau juga percaya pada kami.” Iorie tampak terkejut. Untuk pertama kalinya sejak memasuki ruangan Dillion ia menatap wajah Dillion. Pria itu tersenyum. Tatapan mereka bertemu namun Iorie segera mengalihkan pandangannya. Ekspresi dinginnya masih tidak berubah.

Iorie duduk membelakangi mejanya dalam ruangan yang mulai gelap. Cahaya matahari hampir menghilang seluruhnya namun gadis itu tampak nyaman dengan keadaan itu. Setelah kembali dari ruangan Dillion ia hanya duduk menyendiri di ruangannya. Iorie membuka kembali kertas yang diberikan Carlos. Ia menyandarkan kepalanya pada punggung kursi. Tak lama ia kembali membuka kertas yang hampir hancur dalam genggamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar