Justin gemetaran,
ia tidak menyangka bahwa orang yang paling ditakuti di batalyon adalah
seseorang yang masih muda dan secara fisik tidak seperti yang ia bayangkan.
Tubuhnya yang pendek dan posturnya yang biasa saja sama sekali tidak memberikan
kesan bahwa pria yang menjabat tangannya sekarang adalah Dylan. Mereka
sama-sama terdiam, kemudian melepaskan tangannya. Pandangan Justin sama sekali
tidak lepas dari Dylan. Dylan melangkah ke sebuah kabinet dan membukanya. Disana
terdapat banyak sekali senjata dari berbagai jenis. “Kau mungkin sudah
mengetahui apa yang akan kulakukan terhadapmu.” Kata Dylan sambil mengambil
senjata favoritnya sebuah sniper buatan Pindad tipe spr-2. Seketika itu Justin berlari keluar secepat
angin tanpa mengatakan apapun. Dylan mengeritkan dahi dan meletakkan kembali
senjatanya di kabinet.
Justin terus
berlari tanpa tahu harus kemana, ia ketakutan. “Apa yang kulakukan? Kenapa aku
lari? Dia pasti sangat marah karena aku tidak sopan dan akan membunuhku!” pikir
Justin. Ia terus berlari tanpa mempedulikan orang-orang yang keheranan
melihatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang memanggilnya. “Hei
Justin! Kenapa kau berlari?” Justin menoleh kebelakang dan ternyata Albert.
“Ada apa Justin?” Justin hanya terdiam dan menunduk. “Kau tidak ingin
membicarakannya?” Justin hanya menggeleng pelan. “Baiklah tidak apa-apa.
Berhubung hari sudah sore sudah saatnya kita mandi. Ayolah kau sudah dapat
seragammu kan?” Ajak Albert. Justin mengangguk dan mengikuti Albert ke tempat
mandi. “Apakah kau sudah punya loker?” tanya Albert. Justin menggeleng.
“Baiklah, tunggu disini aku akan mengurusnya.” “Terima kasih Pak.” Jawab
Justin.
Tempat mandinya
sangat luas dengan satu bak air yang sangat besar, ada juga shower yang
berjajar rapi di tepi-tepi dinding dan tempat mandi tersebut hanya beratapkan
langit. Justin menatap ke langit senja dan menarik nafas dalam. Orang-orang
yang ditemuinya hari ini mulai dari Albert dan Geoff yang tampak sangat baik
padanya, kemudian seorang dokter bernama Randolph yang senang tertawa. Kemudian
ada Kevin , seorang anak yang banyak bicara dan percaya diri. Seorang kepala
regu yang kasar bernama Henry, seorang letkol yang sepertinya sangat perhatian
pada para anggotanya dan terakhir seseorang yang bernama Dylan yang amat
ditakuti di batalyon. “Ternyata aku sudah mengenal tujuh orang hari ini.” Gumam
Justin. Tidak lama kemudian Albert kembali dengan membawa sebuah kunci di
tangannya. “Ini kunci lokermu dan kunci kamarmu. Tadi aku bertemu Kevin, dia
bilang dia lupa memberikannya padamu karena tadi ada urusan penting.” Kata
Albert. “Terima kasih Pak.” “Baiklah, ayo segera mandi dan setelah itu makan.”
Justin mengangguk dan tersenyum.
Setelah mandi
Justin dan Albert pergi ke kantin untuk makan malam. “Sepertinya kita datang
terlalu awal. Baguslah kita tidak perlu antri hahaha.” Kata Albert. Mereka pun
mengambil makanan dan duduk di sebuah meja. “Ayo segera dimakan.” Kata Albert.
Justin hanya mengangguk dan makan tanpa suara. “Ada yang menganggumu?” tanya
Albert memecah keheningan. Justin menatap Albert sejenak dan meletakkan
garpunya. “Tentang seseorang yang paling ditakuti disini… Dylan.” “Oh, anak itu
ya? Kenapa?” “Apakah benar seperti yang dikatakan Kevin kalau ia tidak
berperasaan dan dapat membunuh siapa saja tanpa rasa bersalah?”. Albert meminum
seteguk air dan menjawab pertanyaan Justin. “Poin pertama bahwa ia orang yang
paling ditakuti disini menurutku lebih kepada orang yang paling disegani
setelah Tn. Dillion. Aku ingat saat ia pertama kali datang kesini, ia hanyalah
seorang anak belia yang bertubuh kecil dan takut dengan senjata. Tapi kemudian
ia berubah dan menjadi orang yang paling berbakat disini dan menjadi salah satu
anggota pasukan khusus Tn. Dillion. Poin kedua bahwa ia tidak memiliki perasaan
dan bisa membunuh siapa saja tanpa rasa bersalah juga sebenarnya tidak
sepenuhnya salah. Ia adalah seorang sniper, ia bertugas membunuh musuh yang
penting untuk menurunkan mental pasukan musuh sehingga tugasnya amat penting
dan tidak boleh gagal. Seorang sniper harus bisa mengontrol diri dan tidak
terbawa oleh perasaan. Namun apakah dia benar-benar tidak punya perasaan atau
tidak aku tidak bisa menjawabnya.” “Jadi kalau aku berbuat kesalahan padanya
apa ia akan membunuhku?” tanya Justin. “Tergantung apa kesalahanmu. Setidaknya
ada orang yang nyaris terbunuh. Hahahaha… Tenang saja bagaimanapun juga ia
adalah prajurit yang bertempur bersama kita, kita semua adalah keluarga dan ia
tidak mungkin membunuh rekannya sendiri.”. Justin tersenyum dan melanjutkan
makan malamnya dengan perasaan yang sedikit lebih baik.
Justin telah
menghabiskan makanannya begitu pula dengan Albert. “Sepertinya terlalu awal
untuk tidur. Aku ingin mencari Geoff dan teman-temanku yang lain. Apakah kau
mau ikut? Itu juga jika kau tidak keberatan bergabung dengan orang tua seperti
kami.” Kata Albert sambil tertawa kecil. “Tidak, terima kasih. Ku rasa aku
ingin kembali ke kamar ku saja.” Jawab Justin.
Justin kembali ke
kamarnya, di perjalanan dia berpapasan dengan beberapa prajurit lain dan saling
menyapa. Saat sampai di depan pintu kamarnya, Justin melihat barang-barangnya
tergeletak di luar. Justin menjadi kebingungan, ia tidak mengerti mengapa ada
seseorang yang meletakkan barang-barangnya di luar. Ia kemudian mengambil
barang-barangnya dan membuka pintu kamarnya dan ternyata tidak ada orang di
dalam. Justin kemudian menyusun barang-barangnya di kamar tersebut saat tengah
sibuk merapikan pakaiannya ia mendengar sesuatu. Suara tersebut berasal dari
sebuah pintu di dalam kamarnya, ia tidak menyadari sebelumnya ternyata didalam
kamarnya ada sebuah ruangan. Justin pun penasaran dengan suara yang barusan ia
dengar dan menempelkan telinganya di dekat pintu tersebut dengan hati-hati. Ia
tidak mendengar apapun, kemudian tiba-tiba pintu tersebut terbuka Justin segera
mundur karena terkejut. Ternyata ada seseorang didalam ruangan tersebut.
“Siapa kau? Oh ya,
aku ingat kau anak yang tadi. Kenapa kau ada disini?” Justin tidak dapat
berkata-kata. Ternyata orang tersebut adalah Dylan, ia terlihat mengenakan
pakaian tidurnya. Dylan melirik kearah tempat tidur dimana barang-barang Justin
tergeletak. “Oh, itu barang-barang mu?” tanya Dylan. Justin mengangguk pelan.
“Ah, maafkan aku. Tadi aku kira ada seseorang yang salah meletakkan barang di
kamarku, jadi kau tinggal disini sekarang?” Justin hanya kembali mengangguk.
Dylan hanya mengganguk pelan dan kemudian melihat keluar jendela. Justin merasa
sanggat canggung, ia melanjutkan menyusun barangnya namun pandangannya tidak
lepas dari Dylan. Ia takut kalau tiba-tiba Dylan melakukan sesuatu. “Aku tahu
kau memperhatikanku. Ada yang ingin kau katakan?” tanya Dylan tiba-tiba. Justin
terkejut dan segera memalingkan wajahnya. “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
tanya Justin. “Instingku sudah terbiasa, dalam perang posisi seorang sniper
tidak boleh sampai terlihat oleh musuh oleh karena itu instingku terlatih untuk
mengetahui apakah ada seseorang yang telah mengetahui posisi ku atau tidak.”
“Bagaimana kau bisa
melakukan itu?”. Dylan berbalik menatap Justin. “Maksudmu?” tanya Dylan.
“Menjadi seorang prajurit yang hebat seperti itu?”. Dylan mengambil nafas
dalam, “Egosentris. Mungkin menurut orang itu adalah kata yang negatif tapi
dunia membutuhkan orang seperti itu.”Justin hanya mengangguk pelan mendengar
jawaban Dylan. “Ngomong-ngomong, kenapa tadi kau berlari?” Justin tersentak
mendengar ucapan Dylan. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud tidak sopan tadi. Aku
memperlakukanmu seakan kita ini prajurit yang setara.” Kata Justin sambil
menunduk ketakutan. “Kalau begitu kau harus bisa setara denganku. Karena aku
tidak mungkin bisa dibandingkan dengan dirimu yang sekarang.” Kata Dylan
serius. Justin menjadi semakin canggung dan takut. “Besok, akulah yang akan
melatihmu saat pelatihan senjata dan juga bela diri, jadi persiapkan dirimu.”
Justin menatap kearah Dylan, sepertinya ia tidak seburuk yang digosipkan.
Menurutnya Dylan memang suka berkata sinis dan bersikap dingin namun sepertinya
Dylan merupakan orang yang baik.
“Mengenai ruangan
tadi, itu ruangan apa?” tanya Justin tiba-tiba. Dylan memandang sinis dan tajam
kearah Justin. Kemudian ia berjalan kearah Justin dan mendekatkan wajahnya.
“Bukan urusanmu! Jangan pernah masuk kesana tanpa seizinku!” kata Dylan dengan
nada mengancam. Justin mengangguk pelan, ternyata Dylan bisa tiba-tiba berubah
menjadi sosok yang sangat mengintimidasi. “Maafkan aku.” Kata Justin pelan.
“Masih terlalu awal untuk tidur, apa kau mau berjalan-jalan sebentar?” tanya
Dylan. Tiba-tiba saja sikap Dylan kembali seperti semula dan membuat Justin
sedikit binggung, kemudian ia mengangguk setuju.
Mereka berjalan
menuju lapangan yang kosong, sebenarnya sekarang adalah waktu bebas namun
karena kelelahan banyak prajurit yang hanya berada di dalam kamar mereka dan
bercengkrama dengan teman-temannya. “Hei, namamu Justin kan? Apakah kau mau
melihat menara pengawas? Disanalah tempat sniper kami berjaga.” Tanya Dylan.
“Ya. Aku mau!” jawab Justin senang. Mereka pun pergi ke salah satu menara
pengawas. Menara tersebut cukup tinggi mungkin sekitar Sembilan puluh kaki dan
terbuat dari batu yang kokoh. Tangganya terbuat dari besi dengan jarak antar
anak tangga yang cukup tinggi. Justin merasa sedikit takut ketika sudah sampai
di pertengahan anak tangga. Dikarenakan anak tangga yang berputar-putar ia
menjadi sedikit pusing dan takut kalau-kalau ia kehilangan keseimbangan dan
jatuh kebawah, namun Dylan tampak baik-baik saja.
“Merasa pusing?”
tanya Dylan. Justin mengganguk pelan sambil memegangi kepalanya. “Jangan lihat
kebawah, fokus saja pada anak tangga yang diatas, dan juga tegakkan kepalamu.”
Kata Dylan sambil terus melangkah keatas. Justin pun mengikuti sarannya dan
pusingnya telah sedikit berkurang. Akhirnya mereka pun sampai ke atas menara,
Justin melihat seorang wanita sedang mengawasi keadaan dengan teropongnya. Dylan
tiba-tiba menjadi diam dan tidak bergerak, matanya terus memandangi wanita
tersebut dan tampaknya wanita tersebut terlalu fokus sehingga ia tidak
menyadari keberadaan mereka. “Ehem.” Justin mencoba menarik perhatian wanita
tersebut. Wanita tersebut segera melihat kearah Justin dan mengeritkan dahinya.
“Siapa kau?” tanya Wanita tersebut. Wanita tersebut sepertinya seumuran dengan
Justin, wajahnya cantik dan sama sekali tidak terkesan seperti seorang prajurit
wanita. Rambutnya panjang dan bergelombang, dibawah sinar bulan Justin dapat
mengetahui bahwa ia memiliki rambut berwana kayu manis yang menawan. Matanya
berwana kehijauan dengan bibir yang kecil dan berwarna merah muda cerah. Secara
tidak sadar Justin terus memandangi wanita tersebut tanpa menyadari kalau
wanita tersebut memandangnya dengan heran. “Dia Justin, dia baru bergabung
dengan kita hari ini.” Jawab Dylan. “Oh, senang bertemu dengan mu Justin!
Namaku Mia Aloysius dan seperti namaku, aku terkenal dalam perang hahaha…” Kata
wanita bernama Mia tersebut.
Justin segera
tersadar dan segera menjabat tangan Mia. “Kau sangat cantik, a-aku Justin Hazel
Ainsworth.” Kata Justin gugup, Justin menjadi malu atas perkataannya, jelas
saja ia terpesona karena ia jarang melihat wanita seusianya dan secantik Mia. Mia
tertawa mendengar perkataan Justin. “Biasanya aku akan langsung memukul orang
yang berbicara seperti itu denganku, tapi sepertinya kau itu sangat polos. Kau
sangat lucu hahaha..” Kata Mia. Justin menjadi semakin malu dan mukanya mejadi
merah seperti tomat. Mia pun semakin tidak dapat mengendalikan tawanya. “Ada
perlu apa kalian kemari?” tanya Mia. “Kami hanya berjalan-jalan.” Jawab Dylan
singkat. Mia mengangguk pelan. “Kalau begitu apakah kau mau membantuku
mengawasi keadaan Justin?” tanya Mia. Justin melihat kearah Dylan, dan ia hanya
mengangguk pelan mengisyaratkan Justin untuk menerima ajakan Mia. “Baiklah.”
Jawab Justin senang. “Kalau begitu aku kembali.” Kata Dylan dan seketika ia
sudah menuruni tangga. Justin segera menyusul Dylan. “Terimakasih untuk hari
ini.” Kata Justin. Dylan tidak berbalik dan hanya merespon dengan mengangkat
tangan kanannya.
Justin melihat
ekspresi Dylan sejak ia bertemu dengan Mia barusan, Dylan memang mempunyai
wajah yang suram dan serius namun sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan Mia.
“Apakah dia menyukai Mia?” pikir Justin. Justin pun kembali kepada Mia dan
bertanya apa yang bisa ia lakukan. Mia memberikan teropongnya dan menjelaskan
topografi disekitar batalyon. Batalyon mereka terletak di dataran yang cukup
rata dan dikelilingi oleh hutan yang cukup lebat, disebelah timur terdapat
sebuah sungai yang cukup besar, namun mereka tidak pernah menggunakan air dari
sungai tersebut ataupun menangkap ikan disana. Hal itu dikarenakan batalyon
musuh juga terletak disekitar sungai tersebut dan air sungai tersebut mengalir
dari tempat musuh dikarenakan mereka berada di dataran yang lebih tinggi.
Mereka takut apabila musuh meracuni sungai tersebut sehingga mereka membuat
beberapa sumur yang letaknya cukup jauh dari sungai tersebut untuk kebutuhan
air mereka. Justin juga mengetahui bahwa
ternyata batalyon musuh terletak diantara tebing sehingga cukup sulit melakukan
penyergapan ke daerah musuh sehingga dapat disimpulkan bahwa secara topografi
batalyon musuh lebih unggul.
Setelah sekitar dua
jam belajar dan bercengkrama bersama Mia, Justin memutuskan untuk kembali ke
kamarnya. Lapangan sudah mulai sepi dan sudah jarang terlihat prajurit-prajurit
yang tadinya bercengkrama disekitar mess. “Hei kau! Kenapa masih disini?” tanya
seseorang tiba-tiba. Justin menjadi terkejut karena bentakan tersebut. “Ini
sudah jam tidur kenapa kau masih berkeliaran?” tanya seorang prajurit yang
terlihat lebih tua dari Justin, umurnya sekitar tiga puluh tahunan dan memiliki
wajah yang berwibawa ia sedang melakukan patroli malam. “Maafkan aku Pak, aku
tadi sedang bersama seseorang.” Kata Justin gugup. “Siapa?” tanya prajurit
tersebut. “Mia Aloysius, kami tadi berada di menara pengawas. Dia menjelaskan
padaku beberapa hal mengenai topografi markas ini dan markas musuh.” Jawab
Justin sambil menunduk. “Apa itu benar? Kau tahu meskipun begitu bagaimana aku
bisa membiarkan anak laki-laki bergaul dengan anak perempuan di malam hari
seperti ini?” tanya prajurit tersebut. Justin menjadi semakin gugup, ia tidak
tahu harus mengatakan apa lagi. “Pak Nicholas, aku yang menyuruhnya untuk
menemui Mia. Ini adalah hari pertamanya jadi aku pikir ia perlu belajar
mengenai topografi di daerah ini.” Kata Dylan yang tiba-tiba muncul. “Ah,
kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau Tn. Dylan yang menyuruhmu? Kalau begitu
aku akan kembali bertugas, sampai jumpa.” Kata petugas Nicholas tersebut sambil
menepuk pundak Justin dan pergi. Justin melihat Dylan, ia sangat kagum
dengannya. Walaupun Dylan mempunyai badan yang kecil namun ia mempunyai wibawa
yang besar, Justin dapat melihat seberapa kuatnya kepribadian Dylan melalui
sorotan matanya. “Ayo kita kembali ke kamar, besok kau harus berlatih keras.”
Ajak Dylan. “Ah iya, terima kasih.” Kata Justin sambil mengikuti Dylan.
Justin tidur dengan
nyenyak hari itu, biasanya ia tidak bisa tidur nyenyak tanpa orang tuanya namun
sepertinya hal itu sudah berubah. Ia memikirkan orang tuanya setiap saat, namun
ia juga bersyukur bahwa sekarang ia telah dewasa dan dapat melakukan sesuatu
untuk membuat orang tuanya bangga. Ia akan ikut berperang dan akan pulang
dengan dengan kemenangan.
“Justin,
bangunlah!” bisik seseorang sambil mengoncangkan tubuhnya pelan. Perlahan
Justin membuka matanya, ternyata Dylan yang membangunkannya. Justin segera
beranjak dari tempat tidur dengan gugup. “Maafkan aku, aku ketiduran.” Kata
Justin sambil menunduk malu. “Tidak apa-apa, aku tahu hari ini hari pertamamu
jadi aku membangunkanmu lebih cepat supaya kau tidak terkena masalah. Sekarang
pakailah seragam mu dan ikut aku kelapangan.” Kata Dylan. Justin mengangguk
cepat dan segera memakai seragamnya. Merekapun berjalan menuju lapangan, hari
masih sangat pagi dan masih gelap. Belum ada seorang pun yang bangun dan
beraktivitas kecuali mereka berdua. “Sebenarnya ini masih jam empat pagi. Maaf
jika membangunkanmu terlalu awal, aku terbiasa bangun jam empat pagi aku takut
jika aku tidak sempat membangunkanmu.” Kata Dylan. “Ah, tidak apa-apa. Aku juga
terbiasa bangun pagi untuk mengurus ternak.” Kata Justin. “Ternak?” tanya
Dylan. “Yah, orang tuaku mempunyai peternakan di bukit. Aku sudah terbiasa
bangun pagi untuk mengurus ternak, mengambil telur, memerah susu dan
sebagainya. Tapi mungkin karena tidak dipeternakan aku jadi lupa untuk bangun
pagi. Biasanya Lucy membangunkan kami pagi-pagi tapi dia tidak disini.” “Kau
punya saudara perempuan?” “Ah bukan, Lucy adalah ayam peliharaan kami. Dia
betina tapi dia bisa berkokok seperti ayam jantan.” “Kau memberi ayam mu nama?”
“Ya, kata ayah kita harus dekat dengan ternak karena merekalah yang memberikan
kita susu untuk diminum, telur untuk dimakan, bulu untuk dijual, dan
kadang-kadang daging untuk dimakan walaupun itu cukup berat untuk dilakukan.”
Dylan tertawa mendengar perkataan Justin. “Mungkin kau harus membawa Lucy
kemari agar kita semua bisa bangun lebih pagi.” Kata Dylan. “Benarkah? Apa
boleh?” Tanya Justin senang. “Tidak! Kecuali kau mau dia menjadi sup malam
ini.” Kata Dylan. Justin terkejut dengan perkataan Dylan mulutnya mengangga.
“Jadi kau tinggal
dengan orang tuamu? Apakah kau punya saudara?” tanya Dylan. “Ya, kami hanya
tinggal bertiga. Aku adalah anak tunggal, ayah dan ibuku sudah tua jadi aku
tidak mungkin lagi punya saudara.” “Jadi apa itu sebabnya kau terlambat ikut
wajib militer?” “Bukan begitu, sesungguhnya kami tidak tahu kalau sedang
terjadi perang.” “Begitu ya… Kalau begitu kau sekarang tahu bahwa dunia ini
tidak seindah yang kau bayangkan. Kau mungkin masih bisa bersama orang tuamu
kemarin, masih bisa makan bersama di meja, dan bebicara dengan mereka. Namun,
banyak dari kita disini adalah yatim piatu, orang tua kami meninggal dalam
perang, saudara kami meninggal dalam perang, dan kami juga suatu saat mungkin
akan mati di pertempuran.” “Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggungmu.”
Justin menjadi merasa bersalah kepada Dylan, ia tidak menyangka bahwa
orang-orang disini mengalami masa-masa yang sulit. “Tapi aku tidak akan mati di
medan perang, aku akan pulang dan kembali bersama orang tuaku, menjaga mereka
di hari tua mereka! Itu adalah janjiku, mungkin itu terdengar egois tapi seperti
yang kau katakan dunia membutuhkan orang
seperti itu kan?” Dylan tertawa mendengar perkataan Justin. “Ya, kau benar. Kau
cepat belajar Justin.”
Tidak lama kemudian
sirene berbunyi dan para prajurit berlarian kelapangan. “Sudah saatnya kau
pergi. Barisan Henry ada dibagian paling kanan. Barislah sesuai tinggi badanmu,
beri hormat kepadanya jika berpapasan. Dia akan sangat menghargai itu.” Kata
Dylan. “Terimakasih.” Kata Justin, kemudian ia segera berlari mencari regunya.
Dylan melihat
Justin berlari kearah kerumunan dan menoleh ke kanan dan ke kiri, Dylan
tersenyum melihat kepolosan Justin. Ia melangkah ke kantornya, beberapa
prajurit menunduk sebagai tanda memberi hormat. Dylan terbiasa bangun pagi-pagi
walaupun sebenarnya ia tidak harus mengikuti jadwal harian prajurit seperti
yang lain. Dylan telah menjadi pasukan khusus dibawah Dillion dan juga menjadi
salah satu tangan kanannya. Dylan sering memberi Dillion masukan mengenai
kondisi lapangan dan kelemahan musuh. Selama beberapa tahun terakhir Dylan
telah banyak belajar dari Iorie. Dylan membuat banyak prestasi sehingga ia
diangkat menjadi pasukan khusus. Dylan tidak mempunyai kekuatan seperti Henry
namun ia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan juga insting yang sangat peka.
Ia juga pernah menembak sasaran diluar jarak akurasi senapan dan melakukannya
dengan sempurna.
Dylan membuka
lemari senjatanya dan mengecek seluruh senjatanya apakah dalam kondisi yang
baik. Beberapa saat kemudian seseorang mengetuk pintunya. “Masuklah.” Kata
Dylan. “Kau ingin bicara padaku?” “Ah, ya Kevin. Aku ingin meminta bantuanmu.”
“Apa yang bisa kubantu?” “Aku ingin bertanya apakah kau mempunyai keahlian
dalam merakit sesuatu?” Kevin mengeritkan dahi. “Ya, aku bisa merakit senjata,
semua orang disini juga bisa. Aku juga bisa merakit radio komunikasi dan hanya
aku yang bisa.” “Aku ingin tahu apakah kau bisa membuat sesuatu seperti ini.”
Kata Dylan sambil menyerahkan secarik kertas. “Itu adalah konsepnya. Bisakah
kau membuatkannya untukku?” tanya Dylan. Kevin memperhatikannya dengan seksama.
“Baiklah aku mengerti.” “Terimakasih.” Kevin melangkah keluar dengan canggung,
dan kemudian berbalik menatap Dylan. “Aku ingin bertanya, apa yang akan kau
lakukan pada Justin? Maksudku, aku sama sekali tidak bermaksud mengusik
ketenanganmu dengan menempatkannya di kamarmu.” Kata Kevin. “Memangnya apa yang
mungkin akan kulakukan?” tanya Dylan kembali. Kevin menggelengkan kepalanya dan
pergi.
Tiba-tiba telepon
Dylan berbunyi. “Halo, Ah Tn. Dillion ada apa?... Baiklah aku akan kesana.”
Kata Dylan sambil menutup teleponnya. Dylan segera pergi ke ruangan Dillion,
biasanya Dillion memanggilnya apabila ada sesuatu yang penting namun tidak ada
hal yang penting belakangan ini, hal ini membuat Dylan penasaran. Sesampainya
di depan ruangan Dillion, Dylan pun mengetuk pintu. “Masuklah.” Jawab Dillion
dari dalam. “Adakah sesuatu yang penting untuk dibicarakan?” tanya Dylan.
“Kemarilah.” Kata Dillion sambil menunjuk kearah jendela dibelakang kursinya.
Dylan melangkah kearah jendela tersebut untuk melihat apa yang dimaksud oleh
Dillion. “Anak baru itu. Sepertinya dia semangat sekali.” Kata Dillion.
“Justin?” “Kau sudah tahu namanya?” “Ya, kami sekamar.” “Kurasa kalian bisa
menjadi teman akrab.” “Tidak, ini adalah perang bukan tempat mencari teman.
Seseorang bisa saja mati kapan saja dan perasaan terhadap teman, penyesalan
terhadap teman, hanya akan membuat kita kehilangan konsentrasi dan dapat
membahayakan misi dan justru dapat membahayakan lebih banyak prajurit.” Dillion
tertawa mendengar perkataan Dylan. “Kau begitu keras Dylan. Tapi apa kau yakin?
Aku melihatmu tertawa saat bersamanya tadi. Aku tidak pernah melihatmu tertawa
sebelumnya.” Dylan menjadi terkejut dan gugup. “Tadi dia menceritakan lelucon
tentang ayam betinanya yang bernama Lucy, oleh sebab itu aku tertawa.” Kata
Dylan. “Benarkah? Hahahaha, kau tidak pernah tertawa sebelumnya saat bersama
Kevin? Padahal ia sangat lucu.” Balas Dillion. Dylan hanya terdiam, Dillion
melihat Dylan dengan pandangan simpatik. “Kau tidak harus menutup dirimu
seperti ini. Kau tidak perlu sampai membuang perasaanmu.” Kata Dillion. “Apakah
anda berpikir kalau diriku yang sekarang adalah sebuah kesalahan?” “Bukan itu
maksudku Dylan, aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri. Hanya saja aku
tidak ingin kau sampai kehilangan kehidupanmu.” Kata Dillion, ia merasa sedikit
bersalah. “Kehidupan? Kehidupan seperti apa yang anda harapkan disaat perang
bergejolak seperti ini? Jika tidak ada yang perlu dikatakan aku pergi dulu.”
Kata Dylan sambil melangkah pergi. Dillion menarik nafas dalam-dalam, Ia sangat
senang ketika melihat Dylan tertawa saat bersama Justin namun sepertinya akan
sulit untuk membuka hatinya untuk seorang teman. Dylan yang sekarang adalah
seorang yang dingin seperti dinginnya senapan, juga tajam sepert tajamnya belati,
seperti sebuah senjata Dylan tidak memiliki hati dan hanya merupakan sebuah
senjata yang digunakan dalam perang.
Sinar matahari
menembus jendela di sisi kiri meja ruangan Iorie. Tumpukan kertas laporan
tersusun rapi di sudut kiri atas meja Iorie. Laporan yang baru diantarkan
seorang prajurit masih tersusun rapi di tengah meja. Iorie yang duduk
membelakangi meja memijat pelan bahu kirinya sambil memutar kursinya. Kembali
melakukan rutinitasnya, Iorie meraih laporan di depannya. “Laporan misi
penghancuran jembatan dan data pasukan tambahan dari Batalyon 2B.” Gumam Iorie.
Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Iorie dari laporan yang baru dibaca
beberapa lembar. Tidak banyak orang yang datang ke ruangan gadis itu tapi
siapapun yang datang mencarinya selalu menyebutkan nama dan regu mereka selain
Dillion dan anggota pasukan khusus yang cukup menyebutkan nama mereka. Tidak
mendengar suara lain selain ketukan pintu, Iorie kembali membaca laporan di
tangan kanannya. Suara ketukan pintu kembali terdengar. Iorie meletakkan
kertas-kertas di tangannya dan bangkit menuju pintu di sisi kanan meja. Dengan
sedikit malas, Iorie membuka pintu. “Apakah kau sudah memutuskan, Nona
Greenshard?” tanya prajurit bertubuh kurus yang berdiri di hadapan Iorie.
Wajahnya tidak terlihat jelas karena bayangan topi yang dipakainya. Iorie
menatap serius si pria kurus.
“Jangan bercanda.
Aku bisa minta Middleford untuk menahanmu kapanpun jika aku mau.” Iorie manatap
tajam pria kurus yang duduk di hadapannya. Pria itu tertawa mendengar ucapan
Iorie. “Keberadaanku di sini adalah bukti bahwa kami serius, Nona Greenshard.”
Kata pria itu sambil tersenyum. “Mayor Jenderal mempersiapkan saudarimu untuk
perang ini. Aku yakin kau juga menyadarinya. Kesepakatan ini memberikan
keuntungan untuk kedua pihak. Kau tidak perlu ragu, Nona.” Iorie masih menatap
pria itu dengan ekspresi yang sama. “Jika kau masih tidak percaya.” Pria itu
mengeluarkan tanda pengenalnya dari saku celana dan memperlihatkannya pada
Iorie. “Kalian pintar tapi juga bodoh. Kau tahu apa yang akan terjadi jika
tanda pengenal itu ditemukan, Carlos?” tanya Iorie sedikit heran. “Watervalley
adalah prioritas utama. Aku sudah siap untuk mati.” Iorie mengalihkan
pandangannya ke luar jendela. Carlos ikut mengalihkan pandangan ke luar jendela
sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada Iorie. “Bagaimana aku tahu ini
bukan jebakan? Dan bagaimana Ronalson tahu jika aku benar-benar menerima
tawarannya?” tanya Iorie. Carlos meletakkan secarik kertas di depan Iorie.
“Kami, pasukan khusus Tn. Ronalson, siap gugur dalam misi. Kau adalah seorang
strategist, aku yakin kau mengerti apa yang akan kami lakukan jika kau
melakukan hal yang aneh dan sebagai seorang strategist, kau bisa menetapkan
jaminanmu sendiri. Tapi jika kau ingin tahu, salah satu dari orang penting kami
akan berada di sana. Apakah itu cukup sebagai jaminan kami, Nona Greenshard?”
suara Carlos hampir terdengar seperti bisikan. Iorie membaca catatan pada
kertas yang diberikan Carlos. “Kau masih punya waktu untuk berpikir, Nona.”
Carlos berjalan menuju pintu sambil melirik ke arah Iorie. Gadis itu duduk diam
di tempatnya. Carlos membetulkan topinya sambil tersenyum.
Dillion tersenyum
kecut saat matanya dan mata Carlos bertemu. Carlos berusaha mengeluarkan pistol
dari saku rahasia di sisi kanan celananya. Seorang prajurit menangkap tangan
kanan Carlos, membalikkan tubuhnya dan mendesakknya ke dinding di sisi kanan
pintu. Carlos berusaha melepaskan diri namun pegangan prajurit yang
menangkapnya terlalu kuat. Dillion melirik ke arah Iorie yang berdiri di
sampingnya. Dua orang prajurit lain yang keluar dari ruang kendali memasang
borgol pada pergelangan tangan Carlos dan membawanya pergi. “Aku harap dia
tidak mempengaruhimu, Iorie.” Kata prajurit bertubuh kekar yang menangkap
Carlos. Pakaiannya terlihat sedikit berbeda dengan sebuah lencana Letnan di
bagian kanan dadanya. “Kau tahu aku tidak mudah dipengaruhi, James.” James
tertawa, menepuk bahu kiri Iorie. “Dia anggota baru dari regu A5 yang kau
katakan itu? Apa yang penyusup itu katakan padamu?” tanya Dillion. “Ronalson
ingin aku bergabung dengannya.” Jawab Iorie sambil memijat dahinya. “Apakah dia
membocorkan informasi tentang Ronalson?” tanya Dillion setelah diam beberapa
saat. Iorie menggeleng pelan. “Mereka akan menyusup dan membawaku pergi jika
aku setuju. Jika kontak darinya terputus artinya aku menolak. Jika kau
mendengar apa yang kami bicarakan, tidak ada lagi yang perlu kukatakan.” Kata
Iorie. Dillion mengangguk pelan dan berjalan ke ruang kendali. “Dua jam lagi,
temui aku di ruanganku, Iorie.”
“Apa yang ingin kau
bicarakan?” tanya Iorie dengan wajah datar. Sesekali ia menoleh memperhatikan
detil ruangan Dillion. Gadis itu hampir tidak pernah memperhatikan detil
ruangan pimpinannya. Peta negara dan foto para pemimpin negara tergantung di sisi
kiri ruangan. Rak-rak dokumen ditempatkan pada sisi kanan ruangan. Perhatian
Iorie tertuju pada riffle yang ditempatkan dalam lemari kaca tepat di samping
meja Dillion. Terlalu realistis untuk sebuah pajangan. “Aku ingin memastikan
kau membuat pilihan yang tepat.” Dillion menarik nafas panjang. Iorie
memalingkan muka dan mengeryitkan dahi. “Aku melindungi apa yang harus
kulindungi dan aku melakukan semua yang dapat kulakukan untuk itu.” Iorie
merapatkan kursinya ke meja Dillion dan memindahkan tumpuan tangan kanannya ke
meja pria itu. “Seseorang yang harus kulindungi ada di Watervalley. Aku juga
akan melakukan apapun untuk melindunginya.” Dillion menatap tajam ke arah
Iorie. Gadis itu hanya tersenyum. “Kau tidak percaya padaku.” Ia menundukkan
kepala namun senyum di wajahnya masih terlihat jelas. Perlahan ia menarik diri
menjauh dari meja dan memundurkan kursinya. Dillion mendengus pelan. “Seperti
yang kau tahu, kita berada dalam keadaan yang tidak begitu baik. Ronalson
berhasil mengirim seorang penyusup ke sini dan sampai sekarang dia tidak
bersedia mengatakan apapun.” Iorie menatap kosong ke arah meja Dillion. “Sudah
seharusnya aku percaya padamu. Aku juga tidak suka ini tapi aku perlu
memastikan kau juga percaya pada kami.” Iorie tampak terkejut. Untuk pertama
kalinya sejak memasuki ruangan Dillion ia menatap wajah Dillion. Pria itu
tersenyum. Tatapan mereka bertemu namun Iorie segera mengalihkan pandangannya.
Ekspresi dinginnya masih tidak berubah.
Iorie duduk
membelakangi mejanya dalam ruangan yang mulai gelap. Cahaya matahari hampir
menghilang seluruhnya namun gadis itu tampak nyaman dengan keadaan itu. Setelah
kembali dari ruangan Dillion ia hanya duduk menyendiri di ruangannya. Iorie
membuka kembali kertas yang diberikan Carlos. Ia menyandarkan kepalanya pada
punggung kursi. Tak lama ia kembali membuka kertas yang hampir hancur dalam
genggamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar