Angin berhembus semakin kencang, awan yang semakin kelam
menambah dinginnya suasana di hari itu. Lampu –lampu rumah dipadamkan, beberapa
orang terlihat gelisah dan mengintip dari jendela berharap para prajurit yang baru tiba tidak menuju ke
rumah mereka. Para prajurit itu mulai
mengetuk rumah pertama, terlihat seorang ibu yang sudah tua keluar memohon
belas kasihan. “ Tolonglah Tuan,
jangan ambil anakku. Aku hanya seorang janda yang tidak memiliki siapa – siapa
selain anakku ini.” Kata ibu
tersebut sembari menangis. “Maaf, Nyonya, ini sudah tugas kami. Negara kita
sedang sangat kekurangan prajurit, kalau kita tidak punya prajurit maka negara
kita tidak akan menang dan hidup kita pasti lebih menderita.” Kata
seorang prajurit. “Bagaimana tuan bisa tega membiarkan seorang janda ini
kehilangan anaknya? Kalau begitu lebih baik aku mati saja!” kata ibu tersebut,
tangisannya semakin menjadi - jadi. Seorang pria yang tampaknya menjabat sebagai sersan mayor
menghampiri wanita tersebut. “Nyonya, kau tidak perlu khawatir negara akan
menjagamu dengan baik.” Kata sersan mayor lembut. “Kalian telah mengambil ayah
mereka pertama kali dan menjadikan banyak dari kami di sini sebagai janda, lalu kalian datang dan ingin mengambil anak –
anak kami? Kami merasa jauh dari rasa aman tanpa keluarga kami , tanpa seorang
pria di rumah kami.” Kata ibu tersebut dengan lantang. Para prajurit hanya terdiam, perkataan wanita tersebut
membuat mereka menjadi sentimental dan teringat kepada keluarga mereka.
Tiba – tiba seorang pria keluar dengan keluarganya dan
menghampiri sersan mayor. “ Saya punya tiga anak. Yang tertua sudah berumur 18
tahun dan yang kedua 15 tahun
sedangkan yang ketiga masih kecil. Bawalah kedua anak saya dan biarkan ibu ini
bersama anaknya.” Kata pria tersebut. Sersan mayor melihat kedua anak tersebut,
yang pertama terlihat cukup sehat namun yang kedua terlihat pendek dan lemah. “
Anak kedua anda saya rasa tidak bisa ikut.” Kata Sersan Mayor. “Tidak, bawalah
dia. Dia pasti berguna, dia anak yang baik dan pintar.” Kata pria tersebut.
Sersan Mayor mengambil nafas panjang. “Baiklah. Nyonya, anda harus
berterimakasih pada tuan ini.” sersan mayor tersenyum. Ibu tua tersebut bersujud dan menangis mengucapkan
terimakasih pada keluarga itu. Pria tersebut segera mengangkatnya berdiri. “
Jika saja anak – anak ku masih memiliki ibu, aku pasti juga akan ikut. Tapi
tidak ada yang menjaga anak ku yang paling kecil. Aku mohon biarkanlah aku
merawat anakku hingga dewasa. “ kata pria tersebut. Sersan mayor tersebut mengangguk setuju.
“Apa yang
menganggu pikiran Anda, Tuan?” Tanya sersan mayor pada pria berambut pirang di
sampingnya. Tubuhnya tegap namun tidak terlalu tinggi. Sejak tiba di desa ia
hanya mengamati reaksi para penduduk desa. “Kedua putriku juga akan melewati
ini. Sama seperti anak-anak itu” Jawabnya pelan. “Dengan posisi Anda sekarang
bukankah sudah jelas dimana mereka akan ditempatkan?” Pria itu tersenyum.
“Sebagai seorang ayah aku tetap mencemaskan mereka. Bagaimanapun kehidupan yang
mereka jalani bukanlah kehidupan normal.” Senyum di wajahnya hilang saat
tangisan dari beberapa wanita kembali terdengar. Dia dan sersan mayor, tidak
ada yang dapat mereka lakukan untuk penduduk desa selain diam dan melihat.
“Aku harus segera
pergi. Tolong berikan ini pada Kolonel. Mintalah dia untuk memberikannya pada putri bungsuku.” Pria itu merogoh
isi tas punggungnya. Sersan mayor berusaha menerima kotak kayu kecil dari pria
itu tanpa bertanya apapun. “Derringer milik istriku. Kami berdua tidak bisa bertemu dengan
mereka dalam waktu dekat.” Pria itu
berkata seolah tahu apa yang dipikirkan sersan mayor. “Bagaimana dengan putri
sulung Anda?”tanya sersan mayor. “Putri bungsuku lebih membutuhkannya
dibandingkan saudarinya.” Ia menjawab sambil merapikan isi tasnya. “Istriku dan orang-orang di Rusthelfield
menungguku. Aku titipkan derringer itu padamu.” Sersan mayor menatap kepergian
pria itu perasaan cemas.
Dari desa kecil
itu terkumpulah sekitar 80 orang untuk berperang.
Keluarga mereka dengan sedih mengantar kepergian suami, saudara dan anak mereka. Gema tangisan
memecahkan malam yang sunyi. hujan pun mulai turun menyapu tangisan mereka.
Beberapa dari mereka terduduk tidak berdaya memukul – mukul tanah yang basah.
Di antara tangisan mereka terdengar
isak tangis seorang anak kecil di pelukan ayahnya. Ayahnya mencoba tegar
meskipun ia tahu bahwa hatinya lebih hancur daripada saat kehilangan istrinya.
Rasa bersalah akan kenyataan bahwa ia tidak bisa memenuhi janji terhadap
istrinya untuk menjaga anak – anaknya. Berita kekalahan markas Rusthelfield memperdalam luka mereka yang keluarganya ditempatkan di
sana. Orang-orang yang ditempatkan di sana dipastikan tidak akan kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar