Justin gemetaran,
ia tidak menyangka bahwa orang yang paling ditakuti di batalyon adalah
seseorang yang masih muda dan secara fisik tidak seperti yang ia bayangkan.
Tubuhnya yang pendek dan posturnya yang biasa saja sama sekali tidak memberikan
kesan bahwa pria yang menjabat tangannya sekarang adalah Dylan. Mereka
sama-sama terdiam, kemudian melepaskan tangannya. Pandangan Justin sama sekali
tidak lepas dari Dylan. Dylan melangkah ke sebuah kabinet dan membukanya. Disana
terdapat banyak sekali senjata dari berbagai jenis. “Kau mungkin sudah
mengetahui apa yang akan kulakukan terhadapmu.” Kata Dylan sambil mengambil
senjata favoritnya sebuah sniper buatan Pindad tipe spr-2. Seketika itu Justin berlari keluar secepat
angin tanpa mengatakan apapun. Dylan mengeritkan dahi dan meletakkan kembali
senjatanya di kabinet.
Will be updated soon!!!
Senin, 07 November 2016
Senin, 24 Oktober 2016
Chapter 1
Pagi yang cerah dan sangat
tenang, sinar matahari yang hangat perlahan masuk melalui jendela dapur. Disana
seorang wanita setengah baya sibuk memotong sayuran diiringi musik klasik yang
diputar dari piringan hitam model lama. Sesekali pandangannya beralih keluar
jendela dimana suami dan anaknya memberi makan ternak mereka. Ia tersenyum
bahagia seakan-akan penantian mereka selama berpuluh-puluh tahun akan seorang
anak sama sekali tidak sebanding dengan kebahagiaan mereka bahwa hari demi hari
yang mereka lewati bersama yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian.
Tampaknya Tuhan sangat adil pada mereka, mereka selalu berbuat baik, saleh,
polos dan hidup penuh dengan kesederhanaan sehingga mereka dianugrahi seorang
putra yang sama baiknya dengan mereka. Tiba-tiba wanita itu tersentak mendengar
suara siulan dari teko air yang mendidih. Dia segera mematikan apinya dan
membuat kopi untuk suaminya. Masakannya juga telah selesai, tubuhnya yang sudah
tua dengan lincah mengangkat masakannya dan ditata rapi di piring.
“Justin, suamiku, sudah cukup
kerjanya! Makanlah dulu.” Wanita itu
memanggil. “Baiklah Bu!” sahut Justin anaknya, ia dan ayahnya segera
membereskan ember-ember tempat pakan ternak dan segera bergegas kembali ke
rumah untuk sarapan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendengar suara ketukan
pintu diluar rumah, ia segera membenahi diri dan membukakan pintu. Ternyata dua
orang pria berseragam tentara mendatangi mereka. Wanita itu sangat heran karena
mereka tidak punya kenalan dari kalangan militer. “Selamat pagi Nyonya, kami
disini untuk meminta bantuan dari masyarakat.”Kata seorang prajurit. “Silakan
masuk dulu tuan-tuan, kita bicara di dalam.” Kata wanita tersebut. Kedua
prajurit tersebut saling berpandangan dan kemudian menerima ajakan wanita tersebut.
“Kalian ingin kopi atau teh?” tanyanya. “Tidak usah repot-repot Nyonya,
sebenarnya kami sedang terburu-buru,” kata seorang dari mereka. “Baiklah.” Kata
wanita itu sedikit gugup. “Sebenarnya kami disini untuk meminta bantuan dari
masyarakat karena kami kekurangan personil.” Kata prajurit tersebut. “Saya
tidak mengerti maksudnya. Tentu kami akan membantu tapi apa yang bisa kami
bantu?” tanya wanita tersebut. “Kami ingin mengajak putra anda untuk menjadi
prajurit.” Kata prajurit tersebut. “Mungkin ini berat bagi Nyonya tapi negara
saat ini sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat.” Kata prajurit satunya.
Wanita itu terdiam sejenak, ia merasa sangat binggung. Bagaimana ia bisa
menyerahkan putra tunggalnya untuk berperang? Tapi bagaimanapun juga Tuhan telah
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi orang tua bagaimana ia bisa
menjadi sangat egois?
Kamis, 06 Oktober 2016
Prolog
Angin berhembus semakin kencang, awan yang semakin kelam
menambah dinginnya suasana di hari itu. Lampu –lampu rumah dipadamkan, beberapa
orang terlihat gelisah dan mengintip dari jendela berharap para prajurit yang baru tiba tidak menuju ke
rumah mereka. Para prajurit itu mulai
mengetuk rumah pertama, terlihat seorang ibu yang sudah tua keluar memohon
belas kasihan. “ Tolonglah Tuan,
jangan ambil anakku. Aku hanya seorang janda yang tidak memiliki siapa – siapa
selain anakku ini.” Kata ibu
tersebut sembari menangis. “Maaf, Nyonya, ini sudah tugas kami. Negara kita
sedang sangat kekurangan prajurit, kalau kita tidak punya prajurit maka negara
kita tidak akan menang dan hidup kita pasti lebih menderita.” Kata
seorang prajurit. “Bagaimana tuan bisa tega membiarkan seorang janda ini
kehilangan anaknya? Kalau begitu lebih baik aku mati saja!” kata ibu tersebut,
tangisannya semakin menjadi - jadi. Seorang pria yang tampaknya menjabat sebagai sersan mayor
menghampiri wanita tersebut. “Nyonya, kau tidak perlu khawatir negara akan
menjagamu dengan baik.” Kata sersan mayor lembut. “Kalian telah mengambil ayah
mereka pertama kali dan menjadikan banyak dari kami di sini sebagai janda, lalu kalian datang dan ingin mengambil anak –
anak kami? Kami merasa jauh dari rasa aman tanpa keluarga kami , tanpa seorang
pria di rumah kami.” Kata ibu tersebut dengan lantang. Para prajurit hanya terdiam, perkataan wanita tersebut
membuat mereka menjadi sentimental dan teringat kepada keluarga mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)